Mohon tunggu...
Lintang Herdina
Lintang Herdina Mohon Tunggu... -

quirky smile, warm heart

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Polisi Grebek Pemutaran Film Penembakan Freeport Pada Masyarakat Papua

19 November 2012   10:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:04 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film Alkinemokiye (sumber: thejakartapost.com)

Kalau teman-teman bertanya, "ada kejadian menarik apa selama penyelenggaraan Screen Below The Wind Festival 16-18 November kemarin?" rasanya saya spontan akan menjawab aksi penggerebekan polisi terkait salah satu judul film yang diputar. Tentu hal-hal seperti ilmu, pengalaman, dan pertemanan yang saya dapatkan selama 3 hari di Ubud kemarin juga menarik, tapi kejadian datangnya polisi yang sontak membuat suasana mendadak terasa mencekam rasanya adalah hal yang paling menancap di benak para peserta diskusi dan pemutaran film di hari Jumat tanggal 16 Nopember 2012. [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Poster film Alkinemokiye (sumber: thejakartapost.com)"][/caption] "Alkinemokiye" adalah sebuah karya sutradara Dandhy Dwi Laksono dan di Produseri oleh Andhy Panca Kurniawan yang menceritakan demo terlama dari pekerja tambang emas terbesar di dunia Freeport McMoRan. Film dokumenter ini menceritakan sebuah demo dari jeritan para pekerja tambang emas terbesar di dunia oleh perusahaan tambang Freeport McMoRan,Timika, Papua. Demo ini yang di hadiri oleh 8,000 pegawai Freeport dari total 22,000 pegawai, menjadikan demo terbesar dan terlama di dalam sejarah perusahaan Freeport McMoRan sejak beroperasi di tahun 1967. Demo yang meminta kenaikan gaji dari $3,5 US/jam menjadi $7,5 US/jam. Sebuah permintaan yang enggan dikabulkan oleh sebuah perusahaan yang dengan mudahnya menggelontorkan dana sebesar Rp711 Milliar hanya untuk jasa keamanan di 10 tahun terakhir. Pada akhirnya demo ini memakan korban sebanyak 11 karyawan Freeport dan kontraktor yang tewas oleh penembak gelap di bulan Juli 2009 - November 2011. [caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Demo Karyawan Freeport Berujung Konflik Bersenjata (Sumber: vivanews.com)"][/caption] Film ini memang sarat dengan informasi yang memilukan. Sepanjang satu jam lebih penonton akan disuguhkan kisah tentang sebuah tambang emas terbesar di dunia namun  karyawannya sendiri tidak hidup sejahtera: tinggal di rumah berdinding papan kayu dengan jendela tanpa kaca. Tidak heran jika warga di sekitar perusahaan tersebut masih ada yang kelaparan dan kesulitan BBM, bahkan pensiunan karyawannya hanya diberi janji-janji palsu. 15 tahun mereka melawan lewat pengadilan hanya untuk mendapatkan kenyataan surat pensiun mereka tidak bisa digunakan untuk mengklaim uang pensiun. Sementara beberapa pensiunan lainnya yang terlebih dahulu pasrah dengan nasib mereka telah menggadaikan rumah untuk dijadikan modal usaha: sebuah warung rokok kecil. Informasi-informasi yang dimuat dalam film "Alkinemokiye" memang 'panas'. Ditambah lagi dengan beberapa adegan kekerasan: konflik bersenjata antara Polisi vs warga Papua, penembakan mobil-mobil sipil yang melintas, hingga acara deklarasi kemerdekaan rakyat Papua; tentu semua itu sudah cukup jadi alasan bagi polisi untuk melarang penayangan film ini; itu belum ditambah kemungkinan adanya instruksi dari beberapa pihak yang merasa 'gerah' jika film ini sampai menyebar ke masyarakat luas.

H-1 panitia masih belum mendapatkan ijin pemutaran film "Alkinemokiye" dari pihak-pihak yang berwenang; "itu film haram," kata mereka. Tidak ingin rangkaian acara se-Asia Tenggara ini batal hanya karena satu film, panitia Screen Below The Wind Festival memutuskan membatalkan pemutaran film "Alkinemokiye" dan diganti dengan acara seminar/diskusi dengan sutradaranya: Dandhy Dwi Laksono. Tapi ternyata polisi tetap datang ke lokasi acara dengan alasan mendapat informasi bahwa film yang tidak diijinkan tersebut tetap diputar. Padahal tidak. Film-film yang diputar sejak jam 9 pagi adalah film dokumenter lain. Polisi mengira acara Screen Below The Wind Festival adalah acara khusus tentang konflik di Papua, dan didedikasikan khusus untuk pemutaran film "Alkinemokiye". Polisi terus berjaga dan mengawasi jalannya acara hingga satu jam setelah acara terakhir selesai. Baru setelah matahari tenggelam, para polisi itu tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Lucunya adalah, kehadiran polisi tersebut justru membuat orang-orang semakin penasaran. Beruntung Dandhy Dwi Laksono sudah menguploadnya ke youtube sehingga film tersebut bisa disaksikan masyarakat luas secara mudah. Semangat dari Screen Below The Wind Festival adalah kebebasan berekspresi; utamanya bagi para penduduk di Asia Tenggara. Acara ini memiliki cita-cita menjadikan dokumenter sebagai senjata yang ampuh untuk menceritakan informasi kepada publik. Dan atas bantuan promosi dari polisi, saya rasa tujuan tersebut sudah tercapai. Tidak heran jika di akhir acara Screen Below The Wind, film "Alkinemokiye" berhasil meraih predikat film dokumenter favorit. Bagi yang ingin menonton film "Alkinemokiye", ini link youtubenya http://www.youtube.com/watch?v=x3OWOu88BhY

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun