Mohon tunggu...
Umi Latifah (LinguistikAsik)
Umi Latifah (LinguistikAsik) Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti

Pencinta Linguistik

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Memahami 'Sinkope' dan 'Apokope' dalam Bahasa Tutur

27 Oktober 2023   14:51 Diperbarui: 27 Oktober 2023   18:52 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Fenomena sinkope dan apokope juga terjadi dalam masyarakat tutur sebagai bagian dari variasi linguistik dalam bahasa sehari-hari. Di dalam masyarakat tutur, penggunaan sinkope dan apokope bisa mencerminkan aspek-aspek budaya, sosial, dan geografis tertentu.

     Sinkope adalah penghilangan satu atau beberapa suku kata atau bunyi dalam kata, terutama di tengah kata. Sinkope seringkali digunakan untuk mempersingkat kata atau membuatnya lebih mudah diucapkan. Berbeda dengan sinkope, apokope adalah penghilangan suku kata atau bunyi di akhir kata. Seperti sinkope, apokope juga digunakan untuk mempersingkat kata atau untuk alasan aliran berbicara. Contoh sinkope: /bahumEmbahu/ menjadi /baumEmbau/ /pEndidikan/ menjadi /pEndidi'an/. Contoh apokope: /jodoh/ menjadi /Jodo//bodoh/ menjadi /bodo/.

     Fenomena ini mungkin muncul dalam konteks masyarakat tutur karena beberapa faktor. Pertama, variasi dialek dan varietas bahasa. Sinkope dan apokope seringkali terkait dengan dialek atau varietas bahasa tertentu. Dalam masyarakat tutur, berbagai kelompok penutur dalam wilayah geografis yang berbeda atau komunitas sosial yang berbeda mungkin memiliki kecenderungan dalam penggunaan sinkope atau apokope yang unik.

     Kedua, pengaruh sosial dan budaya. Penggunaan sinkope dan apokope dalam masyarakat tutur juga dapat dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Beberapa kelompok dalam masyarakat tutur mungkin menggunakan sinkope atau apokope sebagai cara untuk memperkuat ikatan sosial atau untuk menunjukkan identitas mereka dalam konteks sosial tertentu. Misalnya, dalam kelompok remaja, penggunaan fenomena ini mungkin lebih umum sebagai bagian dari gaya berbicara mereka.

      Ketiga, warisan tradisional dan ritual. Dalam beberapa masyarakat tutur, sinkope atau apokope dapat muncul dalam konteks tradisional atau ritual. Ini bisa menjadi bagian dari warisan budaya dalam bentuk lagu, cerita rakyat, atau upacara adat. Dalam beberapa tradisi, penggunaan sinkope atau apokope dalam nyanyian atau cerita rakyat dapat memberikan pengalaman berbeda.

     Keempat, komunikasi efektif. Dalam masyarakat tutur, penggunaan sinkope dan apokope juga dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi komunikasi. Penggunaan fenomena ini dapat membantu dalam percakapan sehari-hari untuk menghemat waktu dan energi, serta memungkinkan komunikasi yang lebih lancar. Ini terutama relevan dalam situasi di mana kecepatan berbicara atau kesederhanaan pesan adalah faktor penting.

     Kelima, mengikuti pola lisan. Fenomena sinkope dan apokope dapat muncul secara alami dalam percakapan sehari-hari karena bahasa lisan seringkali lebih fleksibel daripada bahasa tertulis. Penutur mungkin melakukan sinkope atau apokope secara spontan karena kebiasaan dalam berbicara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun