Mohon tunggu...
Ling Majaya
Ling Majaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya seorang pencinta dunia pendidikan dan perkembangan anak dan remaja di Indonesia, berharap pikiran, ide dan kepedulian saya bisa merupakan sumbangsih bagi perkembangan bagi dunia pendidikan. Motto: Your character is defined by what you do or what you don't do, not by what you say or believe.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ajarkan Budaya Malu

1 November 2012   07:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:07 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Before every action ask yourself. Will this bring more monkeys on my back. Will the result of my action be a blessing or a heavy burden?” by Alfred A. Montapert

(Sebelum melakukan apapun tanyakan pada dirimu. Akankah ini menambah lebih banyak beban di pundakku? Apakah hasilnya merupakan berkat atau beban berat? Oleh Alfred A. Montapert)

Secara umum orang Barat menilai orang-orang di Asia (baca: orang Indonesia) adalah orang-orang yang pemalu. Saat saya sekolah di Denver, Amerika Serikat, stereotype yang paling sering saya dengar adalah: “ Those Asians are very shy, when you ask them to engage in a discussion most of them will just being passive, they will just nod or say yes to agree with you. They are too polite to even state their disagreement.” (Orang-orang Asia ini sangat pemalu, ketika Anda mengajaknya berdiskusi kebanyakan mereka bersifat pasif, mereka hanya akan mengangguk atau mengatakan ya kepada Anda. Mereka terlalu sopan untuk membantah walausebenarnya mereka tidak setuju denganmu.)

Benarkah demikian? Saya rasa tidak! Penyebab pertama mungkin adalah perbedaan budaya. Perbedaan budaya membuat orang Indonesia kebanyakan tidak secara langsung membantah pernyataan seseorang. Banyak dari kita yang dibesarkan dengan budaya sungkan, apalagi terhadap orang yang berusia di atas kita, jabatan lebih tinggi, pendidikan lebih yahud. Kemungkinan penyebab kedua adalah kendala bahasa, karena seperti biasa orang Indonesia di luar negeri lebih nyaman menjawab dengan Yes No.

Lantas apa yang sesungguhnya terjadi di dalam negeri kita sendiri? Apakah orang-orang Indonesia juga malu-malu dan pasif? Saya rasa tidak deh. Lihat saja di lampu merah, mereka tidak segan-segan untuk maju semakin ke depan. Pengalaman di kampus saya dulu ada seorang mahasiswi yang berbelanja di toko dan pemilik toko mengembalikan uang lebih. Si mahasiswi ini begitu senang mendapat uang kembalian melebihi uang yang semula diberikan kepada pemilik toko. Seorang teman saya kemudian bertanya kepadanya: “Kamu nggak malu ambil uang haram begitu? Itu kan kerugian bagi pemilik toko.”

Mahasiswi tersebut kemudian menjawab dengan sangat enteng: “Ya nggaklah. Dia kan punya toko besar, keuntungannya banyak. Apalah arti uang segitu dibanding pendapatan dia.”

Pembaca, minggu lalu saya juga mengalami (untuk kedua kalinya) artikel saya diambil oleh seorang guru dan guru tersebut menaruh artikel saya yang berjudul “Perubahan Kurikulum” di websitenya tanpa mencantumkan nama saya sebagai penulis ataupun sumber dia mengambil artikel tersebut. Untuk menutup perbuatannya guru tersebut merubah tanggal postingan dua minggu lebih awal. Bagi orang awam, fakta bisa dimainkan…kejadian menjadi terbalik. Justru seakan-akan saya yang mengambil artikel tersebut bukan?

Saya sangat kecewa, karena plagiator ini seorang guru. Guru! Yang sejatinya paham etika dalam mengutip atau mengambil artikel orang lain harus mencantumkan nama pengarang atau sumber artikel. Saat para guru, edukator dan pemerhati pendidikan sedang giat-giatnya berseru untuk menanamkan pendidikan karakter ke dalam kurikulum yang baru, ada yang menodai dengan perbuatan mencuri. Bagaimana siswa bisa mempunyai karakter JUJUR bila ia mengetahui dan melihat perbuatan gurunya ini?

Setelah saya renungkan, tujuan saya menulis adalah karena saya senang menulis. Bila tulisan saya bisa menjadi sumbangsih ke dunia pendidikan kita, saya akan terus menulis. Saya percaya bila kita menginginkan perubahan, diri kita sendirilah yang harus berubah. Bila ada yang merasa artikel saya berguna dan ingin menggunakannya, saya sudah mendapat kepuasan karena telah memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada pembaca saya. Maka saya akan terus menulis…karena seorang penulis tugasnya menulis!

Kembali ke topik semula: bagaimana mengajarkan budaya malu kepada anak-anak kita? Apa sebenarnya arti malu? Kapan seseorang harus merasa malu atas perbuatannya? Mana kriteria untuk membedakan perbuatan yang disebut yang BERANI dan yang MEMALUKAN? Apa itu malu-malu? Sepertinya di artikel ini saya akan menjadi ahli bahasa…hahaha.

Apa sebenarnya arti kata malu? Di salah satu kamus on-line Bahasa Indonesia disebutkan bahwa malu adalah merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dsb) karena berbuat sesuatu yg kurang baik, kurang benar, berbeda dengan kebiasaan atau norma. Ada juga yang mengartikannya sebagai rasa kurang senang karena merasa diri hina, rendah dan tidak layak. Saya tidak tahu siapa yang menulis itu, tapi saya pribadi tidak setuju dengan definisi yang kedua, karena arti yang kedua itu sebenarnya bukan MALU, tapi MINDER.

Saya lebih suka mendefinisikan malu sebagai suatu perasaan tidak enak karena diri sendiri (atau orang lain) telah melakukan suatu perbuatan tidak terpuji, berperilaku tidak sesuai norma kesopanan, atau telah mengakibatkan kerugian atau penderitaan pada diri sendiri atau orang lain.

Apa bedanya dengan kata malu-malu? Malu-malu berarti tidak bersedia melakukan sesuatu karena menimbulkan perasaan gugup dan tidak nyaman. Malu-malu juga bisa berarti merasa gugup, tidak nyaman atau malu di depan orang lain (biasanya yang belum dikenal). Secara fisik biasanya dengan gampang terlihat karena munculnya pipi yang kemerah-merahan, tangan berkeringat, salah tingkah dan sebagainya.

Lantas bagaimana kita menjelaskan arti kata malu kepada seorang anak? Apakah anak akan paham arti malu bila kita memberinya definisi kata malu dan malu-malu tersebut? Tidak! Anak tidak akan paham. Yang anak terima bila kita bicara kepada mereka adalah apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar dan rasakan tentang suatu konsep. Terlebih anak di bawah 5 tahun, kosa kata terbatas hanya akan membuat mereka bertanya lebih jauh yang akhirnya membuat kesabaran Anda habis dalam menjelaskan kata malu dan membuat mereka makin bingung.

Akan lebih praktis dan efektif bila kita memberitahu anak di bawah 5/6 tahun demikian:

“Pakai dong bajunya, keliatan ama orang tidak pakai baju kan tidak baik. Malu ah.”

“Dodi kalau ke supermarket dan ambil barang harus bayar dulu. Kalau tidak nanti malu lho dikira kita mengambil barang orang lain tanpa bayar.”

“Nina jerit-jerit di mal tadi karena Papa nggak mau beli mainan baru untuk Nina. Mama jadi malu lho dilihatin orang banyak.”

Untuk anak yang sudah duduk di bangku SD, Anda sudah bisa mengajak mereka berdiskusi untuk menilai sendiri perbuatan mereka, apakah itu perbuatan yang memalukan dan harus dikoreksi, apakah itu hanya malu-malu.

Orang tua: “Aldo, Tante sebelah rumah bilang kamu meminjam mainan Desy dan sampai sekarang belum kamu kembalikan. Sekarang sudah ada sekitar 10 mainan. Betulkah?”

Aldo (tertunduk): “Ya Ma. Tapi sebagai gantinya Aldo membantu Desy mengerjakan PR mereka. Jadi wajar dong mereka harus pinjamkan mainan ke Aldo.”

Orang tua: “Aldo, Mama senang kamu mau menolong Desy dengan PR-PRnya. Kamu punya jiwa penolong. Akan tetapi Aldo, menolong itu harus iklas, tulus. Bila kamu mengharapkan balasan berarti pertolongan kamu itu seperti pepatah ada udang di balik batu. Kamu menolong karena ingin mendapatkan sesuatu. Cara tersebut tidak baik. “

Orang tua: “Mama malu karena 2 hal. Pertama, karena Tante sebelah bisa berpikir bahwa Mama tidak mengajarkan etika kepada Aldo. Kedua, karena Aldo tidak mengembalikan mainan yang dipinjam. Pada saat kita meminjam sesuatu, adalah kewajiban kita untuk mengembalikan barang tersebut.”

Aldo: “Iya Ma, besok Aldo kembalikan semua mainan Desy.”

Orang tua: “Apakah Aldo masih mau membantu Desy mengerjakan PR nya?”

Aldo: “Mau Ma, tapi mulai sekarang Aldo akan ingat mengembalikan mainan yang Aldo pinjam dari Desy. Dan kalau Desy tidak mau meminjamkan mainan barunya, Aldo juga nggak apa-apa deh.”

Orang tua: “Itu berarti Aldo menolong dengan tulus. Aldo membuat Mama bangga.”

Aldo: “Ma, jadi Aldo harus malu kalau menolong orang dengan maksud ingin dapatkan barang ya?”

Mama: “Iya. Dan Aldo juga harus malu bila Aldo pinjam barang dan tidak mengembalikannya.”

Pembaca, dalam pembicaraan di atas orang tua menjelaskan dua hal mengapa Aldo harus malu karena melakukan kesalahan. Dan alasan orang tua malu atas perbuatan anaknya karena dua hal tersebut. Pujilah anak bila ia sudah mengerti apa yang seharusnya ia lakukan, apa yang benar untuk dilakukan. Jadi anak akan mengerti mana perbuatan yang terpuji, mana perbuatan yang membuat malu, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain (ibunya).

Saling lempar antara orang tua dan guru sering terjadi dalam hal mengajarkan budaya malu kepada anak. Guru merasa etika adalah tugas orang tua karena nilai (value) setiap keluarga berbeda, kultur dan budaya juga mempengaruhi definisi atau perilaku yang patut dinilai memalukan. Orang tua dalam hal ini juga merasa anaknya sudah disekolahkan, jadi sudah seharusnya paham arti malu, yaitu mana perbuatan yang boleh dilakukan dan mana perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Dan itu dianggap murni tugas guru.

Tugas mendidik adalah tugas semua orang! Orang tua dan guru harus bergandengan tangan. Dan jangan lupa bahwa anak belajar lebih banyak dengan mengamati dan meniru perbuatan yang dilihatnya. Anda boleh bicara kepada anak definisi malu di atas setiap hari sampai ia bisa menghafal luar kepala, namun bila anak tidak tahu bagaimana mempraktekkan perbuatan yang tidak memalukan semuanya akan sia-sia saja.

Bila saya diperkenankan untuk mengusulkan susunan kurikulum yang bisa mencerdaskan anak Indonesia dan juga mengangkat harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia, saya akan memilih menitik beratkan pada pembentukan karakternya di usia dini. Saya akan menomor duakan peningkatan inteligensi dan ketrampilan. Untuk itu Ujian Kompetensi bagi guru haruslah guru yang lolos seleksi untuk bisa digugu dan ditiru. Belajarlah dari program pendidikan di Finlandia, yang diakui oleh dunia sebagai program pendidikan yang paling sukses.

Penulis: Ling Majaya

Email: Majaya@JadiKreatif.com

“Thinking is my lifestyle.”

PS: Penulis dengan senang hati menerima tanggapan, kritik, sanggahan dan masukan dari para pembaca karena dengan demikian terjadi proses belajar tiada henti dalam dunia pendidikan. Tugas mendidik merupakan tugas orang tua, guru, edukator dan masyarakat. Mari bangun Indonesia yang lebih baik melalui peningkatan potensi dan karakter putera-puteri kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun