Mohon tunggu...
Tatik Nunang
Tatik Nunang Mohon Tunggu... -

suka memperhatikan sekitar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Konflik SARA, Mungkin Kita Sendiri Penyebabnya

16 Juni 2014   01:35 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:35 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kita hidup di dalam kelompok. atau, paling tidak orang lain akan memasukkan kita ke dalam suatu kelompok. Ada banyak sekali kelompok masyarakat di sekitar kita. Sebut saja, kelompok agama (Islam, Hindu, Kristen, dll), kelompok etnis (Jawa, Sumatra, Eropa, Hispanik, dll), kelompok arisan (RT, RW, dll), kelompok hobby, kelompok pertemanan di kantor. Kadangkala kita tidak sadar kalau orang lain menganggap kita termasuk dalam suatu kelompok.

Ciri khas setiap kelompok muncul dari penilaian orang terhadap ciri perilaku berulang yang dilakukan anggota kelompok tersebut. Ciri khas ini akhirnya membentuk stereotype kelompok ini. Dalam berhubungan, Anggota kelompok lain akan berperilaku menyesuaikan diri dengan stereotype kelompok kita.

Jika kepentingan suatu kelompok bersinggungan dengan kelompok lain, akan terjadi konflik. Dan di Negara ini konflik yang paling sensitif adalah konflik sara.

Yang ingin saya bicarakan dalam tulisan ini adalah hubungan sosial Antara kelompok agama. Saya muslim, saya menghabiskan masa kecil dan remaja di Denpasar, daerah yang mayoritas agamanya non muslim. Kebetulan juga saya sekolah di sekolah yang berbasis Hindu. Tidak seperti saat ini, di akhir tahun 60-an, masih sedikit muslim di sini.

Otomatis tetangga, guru, teman sepermainan dan teman sekolah adalah non muslim. Di sekolah saya, dari 500 orang siswa, yang muslim cuma 15 orang.

Dua per tiga hidup saya, saya menjadi kelompok minoritas. Minoritas berdasarkan kelompok agama dan kelompok etnis.

Sejak lulus SMA, saya kuliah, menikah kemudian hidup di luar Bali. Namun 2 – 3 kali setahun saya mengunjungi Bali. Setiap tahun saat mengunjungi Denpasar, saya melihat pola perubahan hubungan antar kelompok ini.

Orang bijak mengatakan, perubahanlah yang kekal. Saya tahu dan saya setuju itu. Tapi perubahan yang saya lihat, menggugah perhatian dan membuat saya sedih.

Keluarga kami pernah tinggal di kampung. Di sana, Saya akan mengunjungi teman saat ia merayakan galungan. Kami sekeluarga biasa mengikuti kemeriahan persiapan hari raya. Saya melihat dan ikut persiapan hari raya, yaitu membersihkan banjar, mempersiapkan tempat ibu-ibu membuat canang, mempersiapkan panggung hiburan, mempersiapkan tempat memotong hewan saat hari penampahan. Sedangkan kami yang non Hindu juga dipersiapkan tempat untuk memotong hewan. Biasanya sih ayam. Hewannya akan kami potong sendiri, masak sendiri dan dimakan sama-sama.

Setelah tidak tinggal dikampung. Saya melihat ibu saya meyiapkan masakan untuk dikirim ke tetangga menjelang perayaan hari raya. Ini namanya ‘ngejot’. Kami pun akan menerima kiriman makanan saat perayaan agama mereka.

Teman dan tetangga kami sudah tahu apa ‘pantangan’ kami. Mereka tidak mengirimkan masakan, karena tahu kami tidak memakannya. Mereka mengirimkan buah sebelum berangkat ke Pura. Padahal ajaran dan kebiasaan mereka adalah membagi makanan setelah sembahyang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun