[caption caption="Kilang Terapung. Sumber:worldmaritimenews.com"][/caption]
Waktu kampanye Pilpres, istilah ‘Poros Maritim’ adalah salah satu bagian yang paling saya ingat dan menarik dari konsep yang diajukan Jokowi – JK. Meski waktu itu saya bukan pendukung Jokowi – JK, tetapi secara obyektif saya anggap konsep ‘Poros Maritim’ bagus untuk Indonesia. Faktanya, Indonesia memang dominan wilayah perairan.
Luas Indonesia sekitar 5.455.675 km persegi. Luas perairan Indonesia 3.544.744 km persegi (65%), sedangkan luas daratan Indonesia 1.910.931 km persegi (35%). Mirip komposisi tubuh manusia dan planet Bumi yang kita huni, yaitu 1/3 material padat dan 2/3 material cairan.
‘Poros Maritim’ adalah konsep yang mencoba mengajak Indonesia menyelaraskan diri dengan kondisi faktualnya yang dominan perairan. Ketika di bangku sekolah dahulu, beberapa pengajar mengatakan Indonesia ini seharusnya dibangun atas prinsip-prinsip perairan, bukan daratan, karena 2/3 wilayah Indonesia adalah perairan. Contoh yang sering disebut soal pertahanan laut yang seharusnya lebih diutamakan ketimbang pertahanan darat. Contoh lainnya, sektor perikanan seharusnya lebih diutamakan ketimbang sektor pertanian. Contoh lainnya lagi, sistem transportasi air seharusnya lebih diutamakan ketimbang sistem transportasi darat.
Pada intinya, konsep Maritim Indonesia seharusnya menjadikan aktivitas perairan lebih diutamakan ketimbang memusatkan segala aktivitas di daratan. Luas perairan RI yang dominan seharusnya mendorong revitalisasi dan kemandirian di area perairan. Kacamata lawas masyarakat RI yang sudah terbiasa menjadikan daratan sebagai pusat aktivitas, harus diubah berkala agar mulai melepaskan diri dari daratan. Mengembangkan industri perairan atau lepas pantai yang mandiri adalah tak terhindarkan jika RI benar-benar mau mendeklarasikan diri sebagai Negara Maritim.
Sederhana, kunci mendorong ‘Poros Maritim’ adalah bagaimana menciptakan mobilitas perairan yang otonom sehingga tidak terlalu bergantung pada daratan. Dalam kacamata Maritim, daratan hanya berfungsi sebagai supporting (pendukung), sedangkan aktivitas dan mobilitas perairan diutamakan.
Sayangnya, Menko Maritim RI Rizal Ramli yang dipercaya Presiden Jokowi, tampaknya tidak paham dengan fungsi jabatannya itu. Kacamata Menko Rizal Ramli masih memakai kacamata lawas, dimana daratan tetap menjadi pusat aktivitas industri. Memang, kabinet Jokowi terdiri atas 2 jenis, yaitu profesional dan politikus. Menko Maritim Rizal Ramli merupakan politikus, bukan profesional. Wajar Rizal Ramli tak paham apa itu konsep Maritim, juga tak paham bagaimana mewujudkan Maritim Indonesia dalam praktik.
Segudang konsep ‘Poros Maritim’ Jokowi – JK, diantaranya adalah konsep Tol Laut. Realisasi mewujudkan Tol Laut atau sistem transportasi perairan lintas pulau-pulau di Indonesia, belum terlihat wujudnya. Polemik muncul karena Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti berencana membeli 2.500 kapal ‘Tol Laut’ dari China. Kabarnya, realisasi pembelian 2.500 kapal ‘Tol Laut’ dari China kini mangkrak di DPR. Persoalan poros politik RI yang lebih dekat dengan Barat ketimbang China menjadi penghambat utama dalam penerapan ‘Tol Laut’.
Mirip, penerapan pertahanan laut Jokowi – JK juga terganjal. Dua faktor yang menghambat. Pertama, rencana memasok kapal perang laut dari Rusia yang bertentangan dengan kepentingan AS. Kedua, TNI AL gagal menduduki jabatan Panglima TNI karena TNI AD masih dominan.
Dua rencana penerapan ‘Poros Maritim’ belum kelihatan batang hidungnya karena polemik politis. Jangankan berubah ‘Poros’, perubahan kebijakan sepele saja bisa jadi politis di Indonesia. Apalagi bicara perubahan ‘Poros’ yang sudah pasti melibatkan banyak kepentingan bisnis raksasa, politisasi selalu jadi cara efektif menghadang.
Usai kegagalan Tol Laut dan Pertahanan Laut, sektor industri yang kini tengah mencoba ‘migrasi’ ke penerapan Maritim adalah sektor Migas. Juga berpolemik. Kalau pernah dengar Blok Masela Abadi, ia kini berpolemik panas karena rencana besarnya mewujudkan konsep Maritim di sektor migas.