Tak lama setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) langsung mendeklarasikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Poros maritim merupakan sebuah gagasan strategis yang diwujudkan untuk menjamin konektifitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut serta fokus pada keamanan maritim.
Deklarasi tersebut sebetulnya sangat logis, dilihat dari berbagai sisi, Indonesia memiliki potensi besar menjadi poros maritim dunia. Indonesia berada di daerah equator, antara dua benua Asia dan Australia, antara dua samudera Pasifik dan Hindia, serta negara-negara Asia Tenggara. Hanya saja, infrastrukur antar pulau dan sepanjang pantai di setiap pulau masih harus dibangun dan dikembangkan. Jokowi pun berjanji jalan antarpulau ini segera direalisasikan untuk mempercepat transportasi antar pulau di Indonesia.
Akan tetapi, mahalnya pembangunan infrastruktur tentunya menjadi persoalan besar jika seluruhnya ditanggung oleh APBN. Maka dari itu, Jokowi memerintahkan sejak awal agar pemerintah mendorong investasi dengan memberikan berbagai macam insentif dan fasilitas yang memudahkan investor. Namun banyaknya investor yang berbondong-bondong ke Indonesia setiap hari, tapi hampir tidak pernah terealisasi.
Mengomentari kegeraman Jokowi, Pengamat Kebijakan Publik, Sidik Pramono mengatakan bahwa permasalahan investasi di Indonesia besar kemungkinan berasal dari situasi yang terjadi di lapangan. Khusus menyoroti penegakan kontrak, Sidik mengatakan ada beberapa kasus yang membuat investor atau pun calon investor berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia.
"Marwah negara akan terlihat dari bagaimana ia menghormati perjanjian yang telah dibuat secara adil dan tidak bermasalah secara prosedur maupun subtansi. Tanpa pemenuhan akan hal seperti itu, kepastian berusaha dan kemudahan investasi di Indonesia hanya akan berjalan di tempat," tegas Sidik.
Dengan melihat salah satu kasus antara investor denga hukum seperti apa yang terjadi di Pelabuhan Marunda, tentunya tidak mengherankan jika banyak investor mengurungkan niatnya untuk berinvestasi di Indonesia. Pembangunan pelabuhan Marunda ini bermula saat sebuah perusahaan swasta bernama PT Karya Teknik Utama (KTU) memenangkan tender pengembangan kawasan Marunda yang digelar PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) pada 2004. Setahun kemudian, KTU dan KBN bersepakat membentuk usaha patungan, PT Karya Citra Nusantara (PT KCN), dengan restu Kementerian BUMN dan Gubernur DKI Jakarta dengan komposisi saham KBN 15 persen dan KTU 85 persen.
Namun, di tengah jalan, kedua pihak berkonflik mengenai kepemillikan saham dan status lahan yang dijadikan dermaga tersebut. Alhasil, investasi triliunan rupiah yang sudah dikeluarkan oleh investor, akan menguap begitu saja. Kuasa Hukum KCN, Juniver Girsang pun menyayangkan komitmen Jokowi untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik tidak dijalankan 100% oleh bawahannya, terutama BUMN.
Dia pun memberikan contoh apa yang dialami oleh kliennya PT KCN. Selama 15 tahun lebih dari 3 triliun rupiah dikeluarkan investor. Namun, alih-alih mendapat keuntungan dari sebuah kerja sama, malah masalah demi masalah yang didapat. "Dia sudah punya kontrak resmi untuk membangun dermaga. Investasi sudah triliunan dikeluarkan. Eh, di tengah jalan malah dihambat. Tak cuma dihambat, tapi juga digugat ke pengadilan. Ini kan ironi. Di satu sisi presiden mengundang. Di sisi lain, di Marunda, investor malah coba ditendang," kata Juniver.
Pengamat Studi Ketahanan Kemaritiman Universitas Padjadjaran, Rizki Ananda Ramadan berpendapat, negara lain berlomba-lomba untuk memajukan industri maritim dengan bermitra bersama investor. Di Indonesia berkaca pada kasus Marunda, kehadiran investor malah dibikin rumit dan dirugikan. Maka jangan heran jika ada investor yang sebetulnya sudah berminat, tetapi balik badan esok harinya.
Begitu juga dengan ekonom senior Faisal Basri yang mengatakan Pemerintah dan BUMN seharusnya membangun iklim investasi yang kondusif, mendukung serta melindungi para investor. "Namun, kolaborasi hanya akan lancar kalau tidak disusupi dengan 'vested interest' atau 'saling titip' -- jangan sampai ada yang menunggangi kepentingan sendiri," ujarnya.
Undangan investasi yang didengungkan oleh Presiden saat ini justru terlihat seperti tukang jambret yang berpura-pura menolong calon korbannya. Ketika lengah, ditengah jalan BUMN akan mengambil secara paksa proyek yang sudah disepakati. Maka tidaklah mengherenkan jika banyak investor hanya sekedar mampir di Indonesia. Mereka pasti sadar setelah melihat risiko yang dihadapi lebih baik berinvestasi ke negara lain.
PresidenRI ; Jawapos ; JPPN ; Detik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H