Narkoba, suatu fenomena gunung es yang terlihat di permukaan hanya sedikit namun jumlah kasus yang sebenarnya sangat banyak, sebuah tindak kriminal yang super serius perlu pemusnahan tapi hingga saat ini semakin darurat dari masa ke masa. Di Indonesia, transaksi narkoba mengakibatkan kerugian individual pemakai mencapai Rp 56 Triliun per tahun. Â Jaringan peredaran barang haram ini telah merambah ke segala lini kehidupan masyarakat dengan jumlah kerugian bahkan kerusakan yang tidak sedikit.
 Semua yang terlibat dalam jaringan narkoba adalah sindikat yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya untuk menyelamatkan jutaan rakyat Indonesia dari jahatnya narkoba. Untuk menangani kasus narkoba yang merupakan "trans-national crime". Negara tidak boleh kalah dengan konspirasi yang dibuat oleh para bandar narkoba melalui segala caranya. Negara tidak boleh mundur dengan berbagai isu-isu dan bualan yang dengan sengaja digelontorkan oleh para bandar narkoba melalui jaringannya.
Freddy Budiman salah seorang gembong narkoba memang telah tiada, yang konon menguasai pasar peredaran dari Medan sampai Papua. Seorang yang bahkan ketika mendekam di penjara mampu menjalankan bisnisnya. Eksekusi pada Jum'at 29 Juli 2016 lalu terhadapnya, bagaikan kisah yang menyisakan sekuel. Sebuah nyanyian horor Freddy beredar luas, ia mengaku membayar uang setoran ratusan milyar rupiah pada oknum di BNN dan petinggi POLRI. Pengakuan yang diberikan kepada Haris Azhar itu dilakukan di Lapas Nusa Kambangan.Â
Pengakuan  itu menjadi heboh dan mengejutkan banyak pihak, sebab aparat penegak hukim justru menjadi fasilitator peredaran narkoba di Indonesia. Membaca tulisan Haris Azhar yang berjudul "Cerita Busuk dari Seorang Bandit", ibarat terbayang seperti menonton film-film mafioso di bioskop. Kenapa? karena dalam jaringan narkoba yang dikendalikan Freddy Budiman terdapat aparat yang disebut ikut bermain. Bahkan, ada perwira TNI bintang dua yang memberikan pengawalan khusus dalam mengangkut narkoba seludupannya.
Siapa para pejabat tertentu itu? Kenapa gembong narkoba bercerita kepada Kordinator Kontras, kenapa tidak langsung di hadapan publik persidangan? Ini bukan barang main-main, apalagi Freddy menyebut selama menjalankan bisnisnya dia telah setor 450 Miliar ke kantong BNN, 90 Miliar ke Mabes Polri. Kalau benar adanya, ini para aparat sudah benar-benar sudah super bobrok, kenapa namanya tidak diumumkan? Ini yang membuat kita pantas setengah tidak percaya dengan kebenaran testimoni Freddy kepada Haris Azhar. Oknum aparat terlibat dalam bisnis haram sebenarnya sudah bukan rahasia lagi. Mulai dari bisnis miras kelas eceran, apalagi bisnis kelas "gede".
Membaca nyanyian horor yang bersumber dari Haris Azhar, kita pantas mengrenyitkan dahi, setengah percaya, setengah tidak, karena kissh-kisah seperti itu sudah banyak terjadi di lingkungan kita, hanya saja kelasnya recehan. Tulisan Kordinator LSM Kontras, Haris Azhar, di media sosial, telah dilaporkan pihak TNI, Polri dan BNN ke Bareskrim Polri, karena dianggap melakukan fitnah dan mencemarkan nama baik terhadap institusi tersebut. Selain pencemaran nama baik, Haris dianggap melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik ITE.
 Sanggahan datang dari pihak LSM Kontras yang mengatakan kepolisian semestinya menindaklanjuti informasi yang dia dapatkan. Logisnya pihak Kepolisian menindaklanjuti kesaksian itu, tetapi mengapa justru yang ada resistensi. LSM Kontras menyebutkan, pihak pelapor gagal memahami pesan yang mereka sampaikan. Pesan tersebut adalah informasi penting yang seharusnya bisa ditindaklanjuti lembaga negara terkait. Pihak Kepolisian maupun BNN yang terusik oleh tulisan yang mereka pandang sebagai pencemaran nama baik institusi, juga tidak mengabaikan begitu saja informasi sumir tersebut. Kedua lembaga akan menyelidiki informasi yang disampaikan Haris.
Kita dapat memahami kesulitan pihak Mabes Polri menelisik kebenaran tuduhan ini, karena terpidana sudah dieksekusi dan tidak ada informasi apapun terkait nama-nama penerima uang. Pihak BNN bahkan menantang Haris membuktikan yang diungkapkan Freddy Budiman dalam testimoni yang disampaikan kepada Kordinator Kontras tersebut. Politisi di DPR dari berbagai partai politik juga ikut memberi perhatian yang serius terkait hebohnya informasi keterlibatan para pejabat di lingkungan BNN, TNI dan Polri dalam jaringan peredaran narkoba, sebagaimana disebutkan dalam tulisan yang berupa testimoni seperti yang diungkap Haris Azhar itu.
 Komosi III DPR berencana mengundang LSM Kontras untuk mendalami informasi yang direncanakan setelah reses DPR berakhir. DPR pada prinsipnya meminta aparat penegak hukum menindaklanjuti, sekecil apapun informasi yang terungkap dari pengakuan seperti ditulis oleh Haris Azhar.
Menyikapi laporan ke Bareskrim oleh institusi TNI, Polri, dan BNN, Haris siap mempertanggungjawabkan informasi yang dibeberkannya kepada publik. Ia menilai perlu untuk membongkar kejahatan yang melibatkan oknum aparat. Kita tentu prihatin melihat silang pendapat alibi antara institusi resmi negara berhadapan dengan LSM HAM Kontras terkait pemberantasan narkoba di negeri ini. Kita berharap semua pihak berkepala dingin dan menyelesaikannya di depan hukum tanpa ada tekanan, teror atau intimidasi atas pihak manapun. Reaksi sejumlah pejabat atas pengakuan gembong narkoba yang diungkap Haris Azhar sebaiknya memperhatikan reaksi emosi publik yang risau atas testimoni tersebut.
 Mempidanakan Kordinator Kontras dengan melaporkannya ke Bareskrim sebagai tindakan fitnah merupakan ranah hukum tanpa perlu memperlihatkan arogansi. Memberi kesempatan kepada Haris Azhar memperkuat kesaksiannya juga merupakan tindakan yang terpuji, agar terungkap siapa backing kelas atas yang berada dalam peredaran bisnis haram narkoba yang telah merusak puluhan juta rakyat Indonesia. Dengan pernyataan institusi negara dari pihak Polri dan TNI yang akan mempidanakan Haris Azhar justru telah memantik perdebatan publik yang semakin meluas. Inilah momen yang tepat bagi Kapolri Tito Karnavian untuk reformasi seluruh aspek di bidang kepolisian dengan komitmen dan keseriusan yang tinggi.