Sebagai sebuah negara yang  memiliki ragam kemajemukan, Indonesia memiliki ruang yang cukup bagi potensi munculnya gesekan sebagai akibat perbedaan keyakinan dari para individu penghuni negara. Perbedaan keyakinan tersebut, pada kenyataannya memiliki pemaknaan yang lebih mendalam dari sekedar perbedaan sebagai "akibat pilihan individu", namun merupakan perbedaan yang telah diwariskan secara hiatoris dan mengakar dalam secara kultural.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, perbedaan pandangan sebagai buah karya pewarisan historis, telah melahirkan adanya pengelompokan. Pengelompokan tersebut, hendaknya dimaknai sebagai sebuah kekayaan yang diakibatkan adanya perbedaan keyakinan, yang menjadi sarana pemersatu dalam kehidupan bernegara.
Memposisikan kelompok mayoritas dan minoritas, sebagai sebuah kekayaan budaya guna mempersatukan bangsa, akan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai toleransi yang berkembang di masyarakat tempat kelompok itu berada. Pada sebuah negara yang multikultural seperti Indonesia, penggolongan tersebut tetap akan berpotensi memunculkan "gap" dan gesekan sosial yang cukup tinggi. Akan selalu muncul perasaan superioritas dari kelompok kaum mayoritas terhadap minoritas.
Belakangan ini, kekerasan fisik karena berbeda semakin meningkat di Indonesia. Perbedayaan budaya, suku bangsa, dan keyakinan justru dijadikan sebagai pemicu perpecahan bukan lagi menjadi sebuah kebanggaan. Padahal, masyarakat Indonesia sangat beragam dilihat dari suku bangsa, budaya, maupun kepercayaan. Indonesia dibangun diatas keragaman tersebut. Perbedaan juga mengajarkan bahwa setiap pemeluk agama saling menghargai dan melindungi.
Membangun bangsa adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya umat Islam tetapi juga umat lainnya. Pluralisme harus terus dijunjung tinggi, umat di Indonesia dengan kemajemukannya pantas dijadikan contoh oleh bangsa lain. Perbedaan itu akan menjadi bekal dalam membangun bangsa untuk mencapai kesejahteraan, Indonesia merupakan rumah bersama. Berdasarkan pengalaman Indonesia selama ini, banyak pertikaian antar umat beragama disulut oleh "misunderstanding" yang kemudian digarami dengan keyakinan.
Dua kasus intoleransi yang terparah sepanjang tahun 2015 adalah peristiwa Tolikara yakni pembakaran rumah ibadah masjid dan juga Aceh Singkil terkait bentrokan warga akibat pembongkaran rumah ibadah gereja. Secara nasional ada 316 tempat ibadah yang diganggu dari 1.600 peristiwa atau konflik intoleransi beragama sepanjang tahun 2015. Dalam hubungannya dengan kasus yang terjadi belakangan ini di Tanjung Balai, Sumut, kekerasan teologis kemudian diikuti oleh kekerasan fisik, yang berdampak serius terhadap kebebasan beragama bahkan dalam hubungannya dengan keamanan warga negara.
Negara tidak boleh diam dalam masalah agama yang menyangkut relasi umat beragama dengan pendekatan hukum. Gerakan takfiri yang mengkafirkan sesama agama bahkan meningkat setelah reformasi. Kekerasan yang terjadi pada kelompok Ahmadiyah dan Syiah, merupakan konsekuensi dari takfiri tersebut. Pemerintah sebaiknya menyelesaikan persoalan-persoalan intoleransi itu dengan pendekatan hukum bukan politis ataupun teologis. Ada kesan yang kuat  bahwa negara membiarkan kelompok-kelompok intoleran melakukan aksi penekanan dan kekerasan terhadap kelompok lain.
Sikap pemerintah pusat dan Presiden Joko Widodo yang menolak segala bentuk intoleransi seperti dalam program Nawacita, dalam pelaksanaannya sering kali berbeda dalam menerjemahkan perintah, termasuk oleh aparat Kepolisian. Sehingga butuh sebetulnya di tingkat implementasi penjelasan yang mendetail agar tidak ada distorsi. Menyimak aksi amuk massa di Tanjung Balai, ternyata Indonesia kekinian masih menghadapi masalah dalam penegakan intoleransi di segala bidang, padahal toleransi merupakan bagian inheren dan melekat dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, karena melalui toleransi yang berhasil akan menciptakan kekuatan transformasi sosial.
Permasalahan sentimen negatif terhadap etnis tertentu pada umumnya sudah dipicu sejak lama di wilayah Sumatera Utara, dimana kelompok radikal intoleran sudah memperlihatkan niat buruknya dalam menyikapi permasalahan sengketa lahan dari sebuah rumah ibadah antara pengembang perumahan dengan kalangan kelompok kepentingan yang sering menggunakan tempat tersebut sebagai basis kegiatan organisasi mereka dalam memprovokasi warga.
Eskalasi kegiatan kelompok intoleran yang bersifat intoleran memang terdeteksi semakin meningkat akhir-akhir ini, tidak hanya di wilayah Tanjung Balai tetapi di berbagai wilayah tanah air, yang kerap membawa sentimen SARA. Bagaimanapun juga, kerusuhan di Tanjung Balai menunjukkan bahwa masyarakat kita masih belum bijaksana menggunakan media sosial, termasuk keberadaan kelompok radikal eksklusif di beberapa daerah sering menjadi pemicu instabilitas keamanan.
Menyikapi aksi-aksi intoleran yang marak akhir-akhir ini, Presiden Joko Widodo mengajak seluruh elemen bangsa untuk memperkuat sikap saling mengayomi serta meningkatkan toleransi beragama. Ajakan itu disampaikan Kepala Negara menyusul kerusuhan yang berujung pada aksi pembakaran tempat ibadah dan rumah warga di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Kekuatan kita adalah keberagaman, kekuatan Indonesia sebagai negara Pancasila adalah perbedaan, kekuatan kita ada disitu, demikian penegasan Presiden Joko Widodo.