Mohon tunggu...
Lingkaran Muda
Lingkaran Muda Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gagal Depkes dan BPOM, Vaksin Palsu Super Kejam Mengintai Bayi dan Balita

28 Juni 2016   09:47 Diperbarui: 28 Juni 2016   16:09 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terungkapnya kasus peredaran vaksin palsu oleh Bereskrim Mabes Polri, merupakan berita yang mengiris hati dan tragis, mengingat praktik pemalsuan itu sudah berlangsung sangat lama sejak tahun 2003 atau selama 13 tahun. Peristiwa ini menunjukkan pengawasan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap industri farmasi secara keseluruhan telah lalai, bahkan cenderung gagal. Terkuaknya sindikat peredaran vaksin palsu tidak bisa dipandang  hal yang kecil, karena dampak yang ditimbulkan terhadap bayi dan balita fatal dan memiliki effek jangka panjang, disamping telah menimbulkan keresahan masyarakat. Kemenkes dan BPOM terbukti tidak memiliki sensitifitas terhadap fenomena pemalsuan produk farmasi di Indonesia, yang kerap terjadi.

Hingga sekarang, informasi kandungan terkait vaksin palsu tersebut belum sepenuhnya bisa dipastikan oleh BPOM, karena alasan sampel vaksin masih merupakan barang sitaan kepolisian dan harus menunggu prosedur kepolisian. BPOM seharusnya bertindak lebih proaktif menjalin koordinasi sejak awal dengan pihak kepolisian. Vaksin palsu yang tengah beredar di masyarakat, juga menunjukkan kegagalan Kementerian Kesehatan dalam mengawasi dan mengawal cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dan cara distribusi yang baik (CDOB), karena wilayah ini merupakan kewenangan dari Kemenkes.

Beredarnya vaksin palsu di masyarakat, dinilai wujud kelalaian atau keteledoran Kemenkes, meski sudah mengetahui vaksin palsu beredar tetapi tidak pernah melakukan tindakan tegas. Kasus yang sudah lama terjadi ini hampir tidak pernah mendapat respon dari otoritas kesehatan, kecuali saat ini ketika Polri menemukan dan mengungkap kasus, setelah ada keluhan-keluhan dari masyarakat. Hal yang patut disesalkan, sosialisasi dari Kemenkes atas vaksin-vaksin palsu tersebut juga tidak pernah ada. Ini artinya, sisi promotif dan preventif sangat memprihatinkan, dan terabaikan oleh jajaran Kemenkes dan BPOM.

Pertanyaan yang mengemuka adalah vaksin palsu ini telah beredar sejak tahun 2013, kenapa baru hari ini terungkap. Masuknya vaksin palsu ke beberapa rumah sakit menunjukkan permainan jaringan pengedar yang rapi dan melibatkan banyak oknum. Rumah sakit saat ini telah menggunakan e-katalog terkait dengan pengadaan obat-obatan, kalau vaksin palsu bisa masuk dapat diartikan ada permainan yang melibatkan jejaring kejahatan dan dilakukan secara rapi.

Cara kerja BPOM  yang menggunakan manajemen "Pemadam Kebakaran" patut disesalkan, karena baru beraksi setelah kasus mencuat di publik. Seharusnya langkah dan tindakan preventif dikedepankan meski kewenangan BPOM terbatas. Jejaring kejahatan pemalsuan vaksin merupakan kejahatan kemanusiaan yang harus dibasmi tanpa toleransi, karena korban dari pemalsuan vaksin ini berasal dari balita hingga anak-anak. Masyarakat tentu sangat berharap agar penegak hukum mengusut tuntas kasus peredaran vaksin palsu, karena kasus ini jelas melibatkan jejaring kejahatan, dalam produksi, penyebaran serta penjualan di tengah-tengah masyarakat.

Jika ditinjau berdasarkan UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan masalah vaksin merupakan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah dalam hal distribusi, pengadaan dan pengawasan. Jadi apapun bentuk vaksinnya, pasti terdapat kelalaian fatal dalam fungsi pengawasan menyangkut sistem dan oknum. Terungkapnya kasus vaksin palsu merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam pengawasan obat-obatan yang beredar di masyarakat. Peran negara dalam memberi perlindungan kepada warganya khususnya anak-anak menjadi pertanyaan. Pilihannya hanya satu, yaitu membongkar tuntas seluruh jaringan kejahatan yang melibatkan apotik, klinik hingga rumah sakit dan para medis yang terlibat.

Kecurigaan mencuat menuangkut adanya mafia yang bermain dari pembuat, pemasok sampai user. Permainan rapi ini tidak terbongkar selama 13 tahun. Dari sisi harga saja seharusnya paramedis sudah bisa membedakan mana yang asli dengan yang palsu. Kejahatan vaksin palsu ini sudah berada di luar kewajaran sehingga diperlukan investigasi menyelidiki kejahatan terstruktur yang kemungkinan adanya keterlibatan oknum pemerintah, Direktur RS, hingga Puskesmas. Peredaran vaksin palsu sebagaimana diungkap pihak kepolisian sudah mentebar ke sejumlah wilayah di tanah air. Kemenkes dan BPOM terkesan kuat menyepelekan kasus beredarnya vaksin palsu ini, dengan alibi dan klaim bahwa hanya 1 persen dari tindak pelanggaran kesehatan sehingga dianggap bukan hal besar.

Menkes seharusnya segera melakukan tindakan-tindakan cepat dan proaktif mengungkap dan menindak oknum-oknum di balik peredaran vaksin palsu ini, karena melanggar UU Kesehatan dan mengabaikan salah satu sila Pancasila "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Sebagai wujud tanggung jawab yang menghormati kemanusiaan, selayaknya pemerintah melalui Kementerian Kesehatan melakukan vaksin ulang terhadap anak-anak yang lahir antara tahun 2003-2016 guna menjamin generasi Indonesia yang sehat dan bebas penyakit bahaya.

Vaksin palsu telah menjadi isu yang tengah ramai dibicarakan dan memunculkan ketakutan di kalangan orang tua yang hendak mengimunisasi anaknya, karena vaksin itu ditakutkan memberikan dampak yang akan menimbulkan cacad ataupun mengancam jiwa. Karena itu muncul paradoks ketika Menteri Kesehatan mengimbau masyarakat agar tidak panik saat mendengar kabar vaksin palsu. Seharusnya Menkes lebih sensitif terhadap pemalsuan produk farmasi, mengapa vaksin yang merupakan produk farmasi tak terdeteksi sehingga bisa berlangsung sejak tahun 2003. Kemenkes dan BPOM harusnya melakukan audit ulang maupun investigasi kemungkinan adanya institusi kesehatan atau oknum rumah sakit yang membiarkan atau bahkan bekerja sama dengan produsen vaksin palsu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun