Entah ini layak dibaca atau tidak, salah satu periode paling susah dalam hidup ini adalah kehidupan per-koas-an. Kalo dipikir-pikir, kehidupan per-koas-an itu gak layak untuk dihidupi seorang manusia. Mengapa begitu?
Koas, sering dijadikan keset. Diinjak-injak, tapi tetap welcome. Tetap senyum, minta maaf walau gak salah, dan sopan terhadap perawat maupun konsulen (dokter yang membimbing). Padahal, feedback-nya tidak selalu seperti itu. Banyak perawat yang ngumpetin status supaya koas dipersalahkan, minta makanan, minta dibeliin ini, itu, yang menguras dompet koas, padahal koas juga butuh makanan.
Begitu pula konsulen. Saya pernah, diminta konsulen menerjemahkan begitu banyak jurnal bahasa inggris ke dalam bahasa indonesia, mengedit PPT dan tesisnya, karena konsulen sedang sekolah untuk sub-spesialisnya. Padahal, kami pun punya tugas. Dan tugas penerjemah itu tidak masuk dalam persyaratan lulus kepaniteraan klinik di bagian itu. Feedbacknya? Yaa, jangankan uang. Ilmu pun kami gak dapat.Â
Saya pernah juga gadget saya (yang masih dalam cicilan kredit) diminta pinjam oleh perawat. Karena saya sedang sibuk saat itu, saya tidak menanyakan detil untuk apa. Ternyata, ia menelepon suaminya nun jauh di mato, bermenit-menit, sampai saya sudah pasrah dan tidak ingin tahu berapa banyak pulsa yang sudah tercecer percuma.
Yaa,, begitulah. Masih banyak cerita di kehidupan per-koas-an ini yang sebenarnya mengiris hati. Dan jika ditanyakan kepada ratusan bahkan (mungkin) ribuan koas yang ada di Indonesia, pasti ceritanya ada yang lebih ekstrim dan mengiris "bawang" dari pada cerita saya. Belum berpenghasilan, mesti diinjak-injak, melelahkan, pas-pasan, keringetan, apakah masih menginginkan kehidupan seperti ini?
Pikirlah beribu-ribu kali sebelum terjun ke dalam kehidupan kedokteran yang jauh dan susah.
Memang, jadi dokter itu membanggakan. Jangankan jadi dokter. Masuk jurusan kedokteran saja sudah disembah-sujud oleh orang lain. Sudah di-cie-cie-kan oleh teman-teman SMA yang nitip "harga teman" kalau mereka sakit. Sudah geleng-geleng kepala jika mereka tahu kalau kita masuk kedokteran. Sudah dijadikan dokter pribadi kalo mereka sakit ini dan itu padahal kami masih semester satu.
Sampai suatu kali, ketika saya berada di kereta dari Jakarta-Tegal untuk melanjutkan dunia perkoasan ini, samping saya sepasang suami istri meminta saya jadi menantu mereka untuk anak mereka yang pertama. Saya kaget luar biasa, karena ternyata menemukan pasangan hidup bisa segampang ini! Syukurlah saat itu tidak ada anak yang bersangkutan, jadi saya cuma senyum-senyum "No, thank you".
Apakah di mata mereka dokter itu begitu hebat? Entahlah, kami tertatih-tatih untuk menyandang gelar dokter dan mendapat pekerjaan, bahkan masih dianggap mahasiswa oleh Menkes saat kami intership (padahal sudah ada gelar dokter), rasanya kami begitu kecil dibanding akuntan atau pengusaha sukses di seluruh dunia yang gaji sebulan bisa sampai miliaran, bahkan dollar (kecuali kalo dollar sudah jadi 2000, ya lain cerita sih). Kami bukan apa-apa. Kami hanya petugas kesehatan.
Kalau dipikir-pikir lagi, rasanya tidak seimbang. Antara effort yang sudah dikerjakan, dengan apresiasi yang akan diterima. Antara biaya pendidikan yang begitu mahal, dengan gaji dokter sebulan. Antara sanjungan dari masyarakat, dan makian dari perawat dan konsulen. Antara waktu untuk belajar, dan waktu untuk menikmati hasil pembelajaran. Sampai berada di suatu titik pemikiran, hanya orang gila yang tidak menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya saja yang mau jadi dokter.Â
Jadi, jika ada yang menjadi dokter atau mau masuk dunia kedokteran karena: dokter itu keren, gajinya banyak, mau balik modal kuliah kedokteran, diminta orang tua, gak tahu mau ambil jurusan apa lagi, gak ada pilihan lain, orang tua dua-duanya dokter, malu kalo gak jadi dokter, emm... sebaiknya pikir kembali.