[caption caption="Totti saat berjalan menuju ruang ganti setelah pertandingan melawan Torino"][/caption]Sepanjang hari ini timeline saya riuh dengan euforia kemenangan Roma dini hari tadi. Lawannya memang hanya Torino, namun petikan tiga poin yang didapat tersebut memiliki aura yang berbeda dari kemenangan-kemenangan lainnya. Kemenangan semalam terasa amat spesial, karena comeback yang terjadi, tak lepas dari campur tangan magis seorang maestro sepakbola, Francesco Totti.
Belakangan ini nama Totti memang santer jadi buah bibir menyusul hubungan tak harmonisnya dengan jajaran kepelatihan dan manajemen di internal Roma. Pasalnya jelas, Totti yang merasa syahwat bermainnya masih tinggi ditengah kondisi fisiknya segar bugar, harus rela ‘dikebiri’ oleh faktor non-teknis bernama usia, yang dibalut dengan sebuah demagog bernama kebutuhan tim. Il Capitano tentu meradang. Bagaimana mungkin, seorang yang bergelar Pangeran Roma dengan berbagai ‘kemaksuman’ yang dimilikinya, mesti dipinggirkan begitu saja demi menghangatkan kursi cadangan. Bagi Totti, ini jelas penghinaan!
Pada tulisan ini saya mesti jujur, bahwa sebelum pertandingan semalam, saya menjadi salah seorang yang pro pada kebijakan Spaletti untuk mencadangkan Totti, disaat segudang potensi para pemain Roma yang ada saat ini, layak diberikan porsi berlebih. Saya menilai masa kegemilangan seorang FT 10, sudah tak relevan dengan kebutuhan tim era kekinian. Bagi saya, Roma butuh revolusi sosok. Maka dari itu, candu nostalgia yang berlebih pada ketokohan seorang Totti, dengan segala bentuk feodalismenya, jelas menghambat terjadinya perubahan dalam tim. Tak ada pemain yang lebih besar dari tim itu sendiri, amuk saya dalam hati.
Namun idealisme saya akhirnya runtuh tepat pluit panjang pertandingan Roma v Torino ditiup wasit. Hasil akhir yang mengesankan, ditambah sorot gestur tubuh dan mimik muka Totti pasca pertadingan semalam, membuat saya sadar betapa kerasnya tekad Il Capitano untuk terus mengabdi. Sorot mata dan raut wajah kecewa, yang diriingi gontainya langkah kaki tegap menuju lorong ganti, menyiratkan makna semantik yang dikirimkan Totti kepada para pecinta sepakbola dimanapun ia berada. Seolah ia ingin berkata; “Sungguh! saya ingin terus disini dan berkontribusi, tak peduli dengan hitung-hitungan kalkulasi usia. Saya hanya butuh sedikit respect dan rasa percaya terhadap diri, atas apa yang telah saya berikan selama ini!”
Maka tak aneh bagi saya, tatkala mendengar lirihnya tangis seorang Zampa, sang komentator pertandingan, setelah gol kedua Totti terjadi. Pun dengan gemuruh cucur air mata para tifosi yang semalam hadir di Olimpico. Maknanya begitu mendalam. Tetesan air mata mereka yang pada akhirnya menyadarkan kita, bahwa kisah heroik seorang ksatria sepakbola akan segera sirna dimakan zaman.
Pada akhirnya saya sadar. Mengerti bahwa kepentingan pragmatis serupa kemenangan dan raihan trofi, takkan berarti tanpa hadirnya pemain-pemain yang memiliki loyalitas dan dedikasi yang tinggi. Biarkanlah kami, para pendukung setia Roma, masyuk memadu mesranya cinta kami pada sosok Totti, tanpa pasungan kontrak dan limit usia. Ti Amo Capitano!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H