Mohon tunggu...
Linggar Kharisma
Linggar Kharisma Mohon Tunggu... Politisi - Political Scientist In Digital Creative Industry

Political Scientist

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Selamat Datang di Era Unfair Economy

23 Maret 2016   10:39 Diperbarui: 23 Maret 2016   11:06 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demonstrasi para supir taksi, Selasa (22/3) kemarin / Bingtang.com

Kejadian mogok massal sopir taksi dan beberapa jenis angkutan umum di kawasan Jakarta kemarin, cukup menyita perhatian khalayak ramai. Dengan seketika berita tentang itu menjadi viral di dunia maya dan juga jadi bahasan berita mancanegara.

Salah satu analisis yang hits hari kemarin, datang dari seorang pakar ekonomi Prof. Rhenald Kasali. Dalam analisisnya, Prof. Rhenald secara runtut menjelaskan dengan gamblang bagaimana diferensiasi laku kaum muda dan tua dalam merespon gejolak dunia digital yang makin tak terbendung. Pada akhir tulisanya, dengan kata-kata yang cukup bijak, Prof. Rhenald mengajak para kaum tua yang keukeuh dengan status quo nya untuk berdamai dengan majunya zaman.

Tak pelak analisis ekonomi ini mendapat tanggapan positif di kalangan netizen. Hal yang terbukti dengan banyaknya share dalam tautan tiap media sosial. Semua netizen seolah bereforia diatas pekikan tuntutan para pendemo, seraya menyanjung analisis yang disampaikan Prof. Rhenald, yang juga sudah barang tentu dibarengi dengan bagai caci maki terhadap tingkah para pengunjuk rasa.

Namun sejatinya, analisis Prof. Rhenald bisa dianggap sah jika dan hanya jika dipandang dari sisi ekonomi semata, namun tidak dari segi hukum dan politik. Menurut hemat saya, apa yang disampaikan Prof. Rhenald kemarin bukanlah pokok masalah yang sedang diperjuangkan para pendemo. Ada kepentingan lain yang jauh lebih besar dari sekadar menyadarkan masyarakat akan pentingnya berkompromi dengan kemajuan teknologi.

Kepentingan itu tak lain terkait dengan masalah-masalah keadilan. Saya tak menyangkal bahwa mungkin, salah satu alasan utama mengapa para pendemo melakukan aksinya dipengaruhi motif ekonomi yang terasa akibat kehadiran moda transportasi lain berbasis online. Namun saya juga melihat adanya sebuah hasrat yang coba ditunjukkan para demonstran dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan.

Sederhananya begini. Jika anda mengikuti sebuah perlombaan lari, maka yang ada inginkan dari kompetisi tersebut bukan sekadar hadiah semata, melainkan juga proses persaingan yang mencerminkan sikap keadilan dalam usahanya meraih kemenangan, bukan? Jika para korporat penggagas aplikasi online ingin dianggap sebagai pemain dalam sebuah sistem bernama bisnis transportasi, tentu regulasi yang dijalankan juga harus sama dengan pihak lain yang juga lebih dulu terlibat dalam usaha yang sama. Sebut saja kelompok ini sebagai kelompok bisnis transportasi konvensional.

Jika sedari dahulu aturan mainnya mewajibkan setiap aktor dalam bisnis transportasi, wajib menyetor pajak berupa Ppn, Pph 21, Pph 23, Pph 26, dan bahkan Pph 29. Atau juga dengan melewati pelbagai rangkaian uji KIR, hingga tes kelayakan lain, maka sudah selaiknya aturan tersebut jualah yang diterapkan pada aktor-aktor baru yang mengusung inovasi virtual. Tanpa aturan yang sama, jalannya kompetisi dalam sebuah persaingan tentu akan timpang.

Konklusi dari paparan singkat ini pada akhirnya melihat fenomena kemarin sebagai sebuah bentuk penentangan atas kesewenag-wenangan penguasa yang tak cukup adil menerapkan aturan main dalam berkompetisi. Saya tidak menilai kejadian kemarin sebagai sebuah bentuk kemalasan berpikir dan berperilaku kaum pendemo dalam berikhtiar mencari rejeki. Ataupun menduga-duga kegagapan mereka dalam menyerap informasi-informasi mutakhir era kekinian. Karena saya paham, khutbah-khutbah motivasi untuk mengimprovisasi kemampuan masyarakat kecil, tetapi abai pada realitas politik dan hukum yang berlaku, sesungguhnya hanya dilakukan oleh kelompok anti kaum lemah.

Jadi, bila Prof. Rhenald menyambut fenomena ini sebagai era sharing economy, maka izinkanlah saya menyebutnya sebagai era unfair economy. Welcome!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun