Terus terang saya tak cukup paham dengan pola pikir beberapa kawan saya, yang mengejar popularitas dengan cara pintas. Membeli followers dan like bayaran di akun sosial media, misalnya.
Atas dalih eksistensi, mereka rela menipu kawan-kawan sosmed dan dirinya sendiri, untuk sesuatu hal semu, bernama kebanggaan pribadi. Mereka senang dipuji ketika followers sosial medianya diikuti banyak orang. Dan tentu, amat gembira bila postingannya di like atau love, ribuan orang.
Dalam terminologi Marx, sekumpulan megalomania (sebutan bagi orang yang memiliki penyakit kejiwaan berupa khayalan tentang kebesaran diri sendiri) di sosial media ini, mengidap sebuah kesadaran palsu (false consciousness).
Kesadaran palsu, secara singkat dapat dipahami sebagai sebuah fenomena dominasi laten kelas masyarakat tertentu, terhadap kelas masyarakat lain (di bawahnya), yang berlangsung (seolah-olah) alamiah tanpa disadari oleh kelas masyarakat ybs.
Misalnya, dominasi nisbi kelas borjuis atas kelas proletar. Buruh-buruh yang berkerja pada industri kapitalis, tak merasa dirinya sedang dieksploitasi oleh sebuah kekuatan besar kaum borjuis. Berbagai pilihan dalam kehidupan kelas buruh, sejatinya amat bergantung pada putusan-putusan hasil dari rumusan kepentingan dan kebijakan level atas, yang dikuasai oleh kelompok borjuis.
Dalam contoh kasus followers dan like bayaran di sosial media, kelas kapital melakukan agenda laten terselubung. Seorang pengguna akun sosial media yang memiliki pengikut dan jumlah like (dan atau love) banyak, tentu akan menyandang status ketenaran. Predikat tenar, tentu tak dapat diraih dengan mudah.Â
Pada ranah inilah, kita akan masuk ke dalam konsep ekonomi. Barang yang jumlahnya terbatas, tentu akan mendapat permintaan yang tinggi. Oleh sebab itu, pengguna akun sosial media yang tidak (atau belum) tenar, akan berupaya sekuat tenaga untuk memperoleh status ketenarannya. Untuk apa? Jelas untuk meraih sebuah hal absurd, serupa kebanggaan diri.
Kapitalisme global menciptakan sebuah khayalan bernama kebanggaan, yang sengaja dijajakan untuk kelompok kelas menengah dibawahnya. Kelas borjuis mafhum betul, bahwa komoditas itu (konsep kebanggaan diri) amat diperlukan untuk mengarungi dunia sosial media era kekinian.
Logika sederhananya begini. Semakin banyak followers, akan berpotensi mengundang like/love yang banyak. Semakin banyak like/love yang didapat, maka semakin tinggi pula prestise anda. Semudah itulah sejatinya memahami hakikat kesadaran palsu yang, memang, sengaja diciptakan kelompok kapital penguasa bisnis digital.
Tapi jujur saja, saya tak terlalu merisaukan hal-hal semacam itu di sosial media. Saya akan posting hal yang saya suka. Bukan yang beranda (timeline) saya kehendaki. Sehingga, jumlah like dan love yang saya dapat, tak jadi soal.
Jumlah kawan saya di berbagai sosial media, juga, merupakan kawan-kawan asli yang dapat saya pastikan rupa dan namanya secara absah. Bukan sekumpulan daftar akun palsu, yang doyan memberikan like dan love brutal dalam jumlah besar.