Kalau kita mau jujur, sebenarnya ceruk massa yang jengah dengan stok kepemimpinan nasional hari-hari belakangan ini, jumlahnya cukup signifikan. Dalam satuan persen rata-rata survei nasional mengenai pilihan pemimpin Indonesia di kontestasi tahun depan, misalnya, kelompok massa yang masih belum menentukan pilihannya terhitung besar.
Dalam survei Indo Barometer bulan Februari 2018, contohnya, kita bisa melihat dengan jelas celah yang begitu potensial untuk digarap tersebut. Elektabilitas bakal calon petahana, Joko Widodo, berada di angka 32.7%. Sedangkan kompetitor terdekatnya, Prabowo Subianto, mendapatkan angka elektabilitas sebanyak 19.1%. Sisanya, diduduki oleh masing-masing Basuki Tjahaja Purnama dengan perolehan 2.9% dan juga Jendral (Purn.) Gatot Nurmantyo sebesar 2.7%.
Jika ditotal, angka elektabilitas semua calon di atas jumlahnya hanya 57.4%. Itu artinya, masih ada 42.6% responden di penelitian tersebut yang sejatinya, belum menentukan pilihan politiknya pada saat itu.
Lebih jelasnya lagi, apabila kita ingin dengan segera mensimplistiskan jalannya pertarungan di antara dua pilihan calon saja, semisal Jokowi vs Prabowo, seperti pilihan empat tahun lalu, jurang elektabilitas massa mengambang itu makin terlihat kian nyata.
Olahan data Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, bulan Januari 2018, bisa kita jadikan patokan. Dalam survei elektabilitas yang disimulasikan secara head to head antara Jokowi (48.5%) dan Prabowo (41.2%), jumlah pemilih yang masih abstain yaitu sebesar 10.3%.
Hasil survei Media Survei Nasional (Median) Januari 2018, malah menunjukkan hasil yang lebih ekstrem. Angka elektabilitas Jokowi (35%) dan Prabowo (21.2%), masih jauh lebih kecil dibanding presentase suara kelompok massa yang belum menentukan sikapnya (43.8%) di Pemilu 2019 kelak.
Lantas hal apa yang dapat kita petik dari data-data di atas?
Konklusinya jelas. Rakyat Indonesia butuh hadirnya calon-calon alternatif baru, yang dapat membuat jalannya kontestasi menjadi lebih segar dan menarik!
Polarisasi politik yang hingga saat ini terjadi pasca Pemilu 2014, tak dapat kita pungkiri, membuat energi publik terkuras. Karena harus terbelah ke dalam dua kutub politik yang saling menegasikan.
Duel friksi yang selama ini diperagakan masing-masing pendukung kubu politik, tak jarang membuat jengah sebagian massa di dalamnya, dan akhirnya memilih untuk keluar dari arena pertarungan. Bersikap apatis terhadap kedua kelompok yang kian masyuk berseteru. Saya kemudian menyebutnya sebagai kelompok massa jenuh.
Lantas saya menduga, ceruk massa inilah yang pada hari-hari ini mengisi data angka-angka abstain di berbagai survei elektabilitas menuju 2019.