“Memang ada spekulasi, selain untuk memimpin PNI Pendidikan, Hatta menyuruh Sjahrir pulang karena khawatir melihat pergaulannya yang tak teratur,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Sjahrir memang modis. Negeri Belanda telah mengubahnya menjadi seorang yang stylish dalam beberapa saat. “Bulan-bulan pertama (di Belanda) selalu terkenang,” begitu tulisnya di Renungan Indonesia.
Berdansa, menonton pertunjukkan teater, hingga sekadar diskusi di coffee shop, menjadi kegiatan rutinnya tiap pekan. Sungguhpun, Amsterdam dan Leiden amat berkesan di hatinya. Jika tak karena permintaan Hatta, sudah barang tentu Sjahrir enggan untuk pulang ke Indonesia. "Rasa hormatnya pada Hatta tak perlu diragukan," begitu Rudolf Mrazek menulis.
Saya berandai, hari itu, pertempuran batin yang amat dahsyat dalam dadanya. Hari di mana ia akhirnya memutuskan untuk menerima uang bantuan pemerintah kolonial di Boven Digul.
Sjahrir risau bukan kepalang, meski celaan demi celaan terus diterimanya, toh tak dapat mengalahkan rasa rindu yang terkerangkeng jarak dan waktu. Kala itu, Sjahrir memang tengah kasmaran. Saat bantuan dana dari sanak famili di Jakarta tak tentu datangnya, sementara ongkos untuk korespodensi kepada tambatan hati, Maria Duchateau, di Belanda sana harus tetap ada.
Flamboyan memang menjadi nama tengahnya, Sutan ‘Flamboyan’ Sjahrir. Lakunya yang memang stylish nan modis, tak jarang membuat kaum hawa kepincut padanya.
Maria, yang berhasil ia ‘tikung’ dari kawannya, Sal Tas, merupakan bukti nyata betapa flamboyannya Bung Kecil satu ini. Meski Sal Tas dan Sjahrir merupakan bagian dari perkumpulan mahasiswa sosialis di Belanda, namun untuk perihal ‘berbagi asmara’ ini, nampaknya persahabatan mereka terlampau sosialis.
Saya bisa rasakan, saat itu, kejengkelan Sjahrir pada perilaku Nyonya Iwa Kusumasumantri yang secara diam-diam mencibir laku tetangganya yang kurang berada itu. Meski tabiatnya keras dan pemberani, namun hati Sjahrir selembut sutra. Ia tak tega melihat pelbagai kesengsaraan hidup kaum papa tak berpunya direndahkan martabatnya oleh kalangan yang lebih terpandang. Tak elok, menurutnya.
Keenggannya akan hal tersebut, didasari pada kebencian pada sistem feodal yang menuntut adanya pernghormatan berlebih kepada sesama insan Tuhan. Hal yang turut dirasa tatkala berkunjung di kediaman Jawaharlal Nehru.
Di sana, ia melihat Nehru yang bergelimang kemewahan dengan sejumlah pelayan pribadi yang dirasa Sjahrir tak etis, kala perjuangan rakyat India sedang berada pada puncak eskalasi. Sungguhpun pemandangan getir bagi seorang Sjahrir.
Saya pahami, manakala nanar melanda pikirannya akibat kebebalan Soekarno yang tak ingin membacakan Proklamasi, di kala Jepang telah benar-benar menyerah. “Soekarno itu banci dan pengecut,” gerutunya kala itu.