Awal tahun 1978, suhu politik di tanah air memanas, akibat timbulnya Peristiwa ITB dan dilarang terbitnya tujuh koran di Jakarta, menjelang Sidang Umum MPR 1978. Di sisi lain, Letjen TNI H.R. Dharsono baru saja dicopot dari jabatan sebagai Sekjen Association of South East Asian Nation (ASEAN).
Sarwo Edhie prihatin dengan suasana di tanah air, akan tetapi ia tetap konsisten sebagai prajurit dengan Saptamarga dan Sumpah Prajuritnya. Ia mendukung pendapat bahwa semua perubahan penting di tanah air harus berlangsung secara konstitusional.
Kembali dari Korea, Sarwo Edhie menjabat sebagai Irjen Deplu. Dalam posisinya sebagai Irjen, ia berhasil menjernihkan kasus ruislag Wisma KBRI di Singapura, di mana pihak swasta mengoper tanah KBRI lama di Orchard Road, dan membangun KBRI baru di tempat lain.
Namun, di dalam negeri, Sarwo Edhie sempat menjadi bahan pemberitaan hangat media masa, karena mengimbau agar patung "Pak Tani" di Menteng Raya (dekat Stasiun Gambir), Jakarta Pusat, dimuseumkan. Alasannya, profil patung itu dianggap bersemangat komunis. "Mana ada petani kita sikapnya angkuh begitu? Tidak ada ! Di Indonesia petani kita sopan-sopan".
Ketika itu pendapatnya didukung Menteri P dan K Daoed Joesoef dan Dirjen Kebudayaan Haryati Subadio. Tetapi Wakil Presiden Adam Malik tidak setuju. Alhasil, karya pematung Rusia Manizer itu pun tidak jadi digusur. Sikap Sarwo Edhie yang sangat anti komunis dan begitu hitam putih, dianggap sumbang di tengah perkembangan pemikiran masyarakat yang majemuk dan berorientasi demokratis.
Setelah itu, Sarwo Edhie menjadi manggala Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Salah satu prinsip tentang kemanggalaan yang selalu ia kemukakan bahwa tugas, fungsi, dan tanggung jawab manggala adalah selaku juru bicara negara.
Dalam pemikiran Sarwo Edhie, seorang manggala bukanlah juru bicara pemerintah, birokrasi atau Korp Pegawai Republik Indonesia (Korpri), melainkan jurubicara negara. Untuk itu, setiap manggala harus peka, dan bila perlu harus berani mengkritik pemerintah jika ada penyimpangan, yang menurut hati nurani dan naluri tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Dengan bekal prinsip itu, Sarwo Edhie kemudian dipercaya menjabat Kepala BP7. Suatu promosi yang tepat, sebab Sarwo Edhie merupakan tokoh langka, yang masih "eling lan waspada" (sadar dan waspada). Jabatan Kepala BP7 merupakan puncak karier non militernya
Tidak lama setelah Sidang Umum MPR tahun 1988, Sarwo Edhie ditawari sebagai Ketua Fraksi Karya Pembangunan (FKP) ABRI di DPR, setelah ia terpilih menjadi anggota DPR mewakili DKI Jakarta, dan melepaskan kursi Kepala BP7.
Namun jabatan sebagai Ketua FKP, agaknya tidak begitu pas di hatinya. Akhirnya, Sarwo Edhie mengajukan permintaan pengunduran diri sebagai anggota DPR, karena 'alasan-alasan yang pribadi'. Dan Ia tetap memilih tinggal di rumah dinas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur, sampai akhir hayatnya.
Kepada media massa Sarwo Edhie pernah menyatakan bahwa tenaganya di DPR sudah tidak produktif. Oleh karena itu, lebih baik diganti orang yang lebih cakap. Ia juga menyatakan tidak bahagia mendapatkan gaji besar tetapi tidak produktif. Itu sangat menyakitkan hatinya.