Raden Ajeng Kartini, Pahlawan Emansipasi wanita yang memiliki keinginan besar untuk menuntut ilmu layaknya hak hak yang hanya didapatkan oleh laki-laki pada masanya. Ia memiliki tekad yang sangat kuat agar kaum perempuan juga diberikan kebebasan menuntut ilmu dan bekerja.
Keluarganya menjunjung tinggi pendidikan. seperti yang dikatakan kakeknya sebelum meninggal, Pangeran Ario Tjondronegoro yang berpesan kepada anak-anaknya. "Anak-anakku, jika tidak mendapatkan pengajaran, engkau tidak akan mendapatkan kesenangan, keturunan kita akan mundur, ingatlah".
Pesan tersebut kemudian diwasiatkan anak-anaknya kepada keturunannya. Sifat ini pun dimiliki oleh kartini dan saudaranya. Kartini adalah anak kelima dari sebelas bersaudara. Kakak kartini adalah Raden Ayu Tjokroadisosro dan Drs. R.M. Sosrokartono. Sedangkan adik kartini antara lain, R.A Kardinah, R.A Kartinah, R.M. Sosromuljono, R.A Sumantri dan R.M Sosrorawito.
Ayah Kartini memiliki 2 istri. Awalnya beliau addalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan bupati memiliki istri bangsawan. Karena M.A Ngasirah bukan seorang bangsawan tinggi, maka ayah Kartini menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan yang merupakan keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu ayah Kartini menjadi bupati di Jepara.
Kartini kecil saat berusia 6 tahun, sangat ingin bersekolah meskipun pada saat itu Pendidikan bagi anak-anak perempuan Jawa dianggap tabu dan tidak dibenarkan oleh adat. Tetapi Kartini memberontak tradisi itu dan akhirnya Kartini diperbolehkan ayahnya menuntut ilmu dan bersekolah di ELS (Europese Lagere School) hingga usia 12 tahun. Kartini belajar bahasa Belanda pada saat itu. Tetapi setelahnya, Ario Sosroningrat, ayah sekaligus bupati Jepara merasa harus menghormati adat istiadat yang berlaku di masyarakat.
Pada usia 12 tahun, Kartini dipingit. Dalam masa pingitan ia belajar sendiri dan melakukan surat menyurat dengan temannya di Belanda. Dari buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini merasa tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Kartini tergerak memajukan perempuan pribumi karena ia melihat perempuan pribumi saat itu berstatus sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun beberapa kali mengirim tulisan dan dimuat pada De Hollandsche Lelie.
Saat beranjak dewasa Kartini berkeinginan mendirikan sekolah perempuan pribumi. Ayahanda sudah menyetujui namun tiba tiba ayah Kartini sakit parah dan rencana tersebut gagal.
Pada tahun 1903 Kartini menikah dengan R.M Joyohadiningrat yang merupakan seorang Bupati Rembang. R.M Joyohadiningrat juga mendukung cita-cita Kartini yang ingin memajukan kaum wanita.
Sekolah berhasil dirintis di Jepara bersama Kardinah dan pindah di Rembang sebagai lingkungan kediamannya yang baru.