LindungiHutan baru saja menyelenggarakan webinar bertajuk "Gajahlah Way Kambas" pada 10 Oktober lalu, didukung oleh ASEAN Foundation melalui program ASEAN Social Enterprises Development Programme 3.0 (ASEAN SEDP 3.0).Â
Acara ini menghadirkan dua pakar konservasi, yakni Humas Taman Nasional Way Kambas, Sukatmoko, serta Koordinator Lapangan Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP), Sugiyo. Kedua narasumber tersebut memaparkan situasi terkini serta tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas.
Populasi Gajah di Taman Nasional Way Kambas
Taman Nasional Way Kambas dengan luas sekitar 130.000 hektare merupakan kawasan konservasi penting di Indonesia yang terdiri dari hutan dataran rendah, lahan gambut, rawa, dan padang rumput. Selain menjadi habitat gajah Sumatera, taman nasional ini juga menjadi rumah bagi berbagai satwa liar lainnya seperti badak, harimau, beruang, serta beragam spesies burung. Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, populasi gajah Sumatera di kawasan ini mengalami penurunan.Â
Pada tahun 2010, survey DNA melalui analisis kotoran memperkirakan populasi gajah di angka 247 individu. Namun, pada tahun 2020, melalui survey perjumpaan langsung hanya mencatat sekitar 180-200 ekor gajah. Meskipun kawasan ini relatif aman dari perambahan, ancaman perburuan liar masih menjadi salah satu faktor yang memengaruhi penurunan populasi gajah di Way Kambas.
"Kemudian ada gajah yang jinak, yang jinak itu ada di Pusat Konservasi Gajah atau Pusat Pelatihan Gajah, itu semuanya yang digunakan untuk melakukan mitigasi semuanya ada sekitar 66 ekor, ini yang jinak, dan 33 ekor ada di Pusat Latihan Gajah kemudian yang separuhnya tersebar di 4 camp ERU (Elephant Response Unit) untuk digunakan mitigasi gangguan gajah," ujar Sukatmoko.
Bayang-Bayang Perburuan hingga Jerat Gajah
Turunnya populasi gajah dilatarbelakangi oleh beberapa sebab dan faktor. Mulai dari kondisi habitat hingga kegiatan ilegal yang dilakukan oleh manusia. Sebagian besar habitat gajah di luar kawasan konservasi seperti Taman Nasional Way Kambas, sekitar 70-80% kini telah mengalami perubahan fungsi. Sugiyo menekankan bahwa pembangunan bukanlah suatu hal yang dilarang, tetapi penting untuk tetap memperhatikan keseimbangan alam.
Khususnya jika wilayah tersebut merupakan habitat bagi Gajah Sumatera, upaya perlu dilakukan untuk memastikan bahwa gajah juga mendapatkan ruang yang memadai. Pembangunan yang bertanggung jawab harus mempertimbangkan kebutuhan ekosistem, terutama ketika melibatkan satwa liar seperti gajah Sumatera.
"Tantangan ke depan untuk konservasi gajah tidak hanya langsung terhadap gajah itu sendiri atau perburuan itu sendiri, tetapi ada beberapa ancaman lain seperti habitatnya terbakar. Karena meskipun TNWK tidak ada penduduk maupun peramban di dalam kawasan, tetapi TNWK tidak luput dari kegiatan-kegiatan ilegal yang dilakukan oleh oknum masyarakat sekitar kawasan, karena dari 38 desa itu dengan batas kawasan TNWK yang sangat terbuka, tidak ada barrier atau pagar yang mengelilinginya, sehingga tiap jengkal TNWK bisa dimasuki oleh masyarakat dan penduduk," ujar Sukatmoko senada dengan Sugiyo.
Gajah Sumatera menghadapi ancaman serius akibat perburuan yang dilakukan untuk memenuhi permintaan aksesoris. Berdasarkan berbagai literatur, perdagangan kulit gajah telah menyebar di lima negara Asia, yaitu China, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja.