"Kami menolak kepemimpinan Ahok sebagai Gubernur, mengingat agama Ahok bukan Islam dan perilakunya pun arogan, kasar, dan tidak bermoral," demikian kutipan alasan dari hasil wawancara sebuah media online terhadap seorang pendemo bernama Suharto.
Sedikit menggelitik memang alasan yang diberikan ini, mengingat Gubernur adalah sebuah jabatan pemerintahan, dan agama adalah relasi seorang dengan Allah. Oleh karena itu menjadikan agama sebagai alasan penolakan terhadap seseorang untuk menempati jabatan pemerintahan merupakan sebuah bentuk dari sesat pikir.
Agama, peranannya dalam jabatan publik?
Lantas apakah agama tidak berpengaruh untuk menentukan kelayakan seseorang untuk menduduki jabatan publik? Sebuah pertanyaan spontan yang wajar muncul bila kita diperhadapkan dengan fenomena demo dan alasan dari seorang pendemo di atas. Tetapi bila kita menjawab pertanyaan tersebut, maka kita akan terjebak untuk menjadikan alasan tersebut sebagai dasar berpikir kita untuk menilai apakah seseorang layak atau tidak menduduki jabatan tersebut. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang benar tentang syarat dan ketentuan pengangkatan seseorang menjadi pejabat publik, peraturan itulah yang menjadi dasar berpikir kita, bukan pikiran atau perasaan kita pribadi.
Agama tidak menjadi syarat, tetapi apakah agama tidak berpengaruh? Tentu saja berpengaruh, malah sangat berpengaruh. Tetapi dimana pengaruhnya? Bila agama kita pahami sebagai relasi seorang individu dalam keintiman pribadinya dengan Yang Suci, yang memberi makna pada eksistensinya sebagai manusia. Maka ketika seseorang yang beragama menduduki jabatan publik, dia akan mengamalkan ajaran agamanya di dalam tugasnya. Jadi tidak masalah agama apa yang di anut pejabat publik Indonesia, selama ajaran agama itu dijalankan dengan benar, maka yang akan terjadi adalah kebaikan. Kenapa saya katakan Indonesia secara khusus? Karena di dalam pemahaman orang Indonesia yang berasal dari bahasa sansekerta, agama dipahami sebagai sesuatu hal yang tidak kacau. Jadi agama akan mempengaruhi sikap seseorang dalam bertindak untuk menghindari kekacauan dengan kata lain mendatangkan kebaikan.
Perilakunya pun arogan, kasar, dan tidak bermoral.
Sepertinya saya salah dengan pendapat bahwa agama akan mempengaruhi perilaku seseorang, sementara pendapat seorang pendemo tadi ”Perilakunya pun arogan, kasar, dan tidak bermoral”. Ini berarti Pak Ahok tidak menjalankan ajaran agamanya? Benarkah demikian? Saya kok bingung ya. Haahahha, tentu saja tidak begitu, saya hampir saja terjebak dengan menjadikan pendapat si pendemo sebagai dasar berpikir untuk menilai seseorang. Mungkin para pendemo melihat dari kaca mata sendiri dan jarang melihat televisi, membaca surat kabar atau media informasi lain yang menjelaskan latar belakang sikap Pak Ahok seperti itu. Arogan terhadap apa? Kasar terhadap apa? Dan tidak bermoral dari segi mana? Ketika kita berpegang pada pendapat dan pikiran sendiri maka kita akan melihat semua keadaan dari sudut kebenaran kita sendiri, sehingga orang lain yang berbeda dengan kita salah.
Berbeda Agama – Bisakah berjalan bersama?
Saya memahami agama sebagai tempat di mana orang menemukan kedamaian, kedalaman hidup, dan harapan yang kukuh. Oleh karena itu bilapun kita menyebut ada orang-orang yang menamakan agamanya, Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu berarti orang itu telah menemukan kedamaian melalui agamanya dan dapat menjadi saluran damai bagi orang-orang disekitarnya.
Namun di sisi lain, agama sering memunculkan wajah kekerasan. Agama yang seharusnya menjadi tempat perjumpaan yang mencerahkan, seringkali dipakai sebagai sarana untuk melakukan diskriminasi, dijadikan alasan tindakan kekerasan, bahkan sampai pada pembunuhan. Fenomena ini akan menjadi hal biasa bila aparat keamanan atau mereka yang diberi tanggung jawab merawat kehidupan bersama tidak bertindak tegas atau melakukan politik pembiaran terhadap setiap kekerasan yang muncul.
Kenapa terjadi Penolakan berdasarkan nama Agama?
Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana kita hidup di dalam masyarakat yang terdiri dari beraneka ragam budaya dan agama, mau tidak mau kita harus menerima perbedaan tersebut. Agama yang mampu menerima dan merayakan perbedaan adalah agama yang mengakui bahwa dalam hidup bermasyarakat kita berhadapan dengan fakta pluralitas agama. Pluralisme tumbuh dan melekat bersamaan dengan kelahiran setiap agama besar seperti Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu dan Budha. Dan Harold Coward berpendapat bahwa pluralitas adalah jati diri yang akhirnya menjadi tradisi unik yang lahir sebagai jawaban terhadap tantangan lingkungan yang majemuk di mana agama itu lahir.
Berdasarkan hal diatas seharusnya Agama menanamkan sifat kerendahan hati dan melayani orang lain. Agama harus memahami bahwa kemuliannya sendiri terletak pada sikap menghormati hak - hak orang lain, mau belajar dari yang lain, saling berbagi pandangan dan nilai - nilai dengan yang lain (the others). Agama harus bercermin dan menyucikan isi dotrin-dotrinnya dari pencemaran regionisme, belajar bahasa hormat yang baru dan berdialog, dan di atas segalanya berusaha untuk tidak memonopoli Allah”
Kalau begitu kita sudah mengetahui kenapa bisa terjadi penolakan berdasarkan nama agama. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H