Mohon tunggu...
Linda Patimasang
Linda Patimasang Mohon Tunggu... Guru -

Lahir di Balikpapan dan belajar disana hingga tamat SMP. Melanjutkan studi di Muntilan dan Yogyakarta. Pernah bekerja sebagai guru privat Bahasa Inggris, tutor Bahasa Indonesia untuk orang asing, reporter dan penyiar radio, MC, penulis di sebuah majalah komunitas, dan saat ini mengajar di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Suka menulis, membaca, mendengarkan musik, nonton, travelling, dan berkeliaran di dunia maya. Saat ini tinggal bersama anak lelakinya di Jakarta dan berharap tetap memiliki ruang untuk mengaktualisasiakan diri dan mimpi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Saya Juga WNI Keturunan Tionghoa

31 Januari 2014   13:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:17 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nonton perayaan Imlek di berbagai kota di Indonesia melelaui TV, sangat meriah. Klenteng-klenteng dibanjiri umat yang berdoa, meriah dengan lilin-lilin besar dan asap dupa. Jadi inget, waktu SD-SMP dulu, tiap tahun baru Imlek, teman-teman yang merayakan terpaksa bolos sekolah 1 hari, karena hari tersebut bukan hari libur. Sekolah jadi sepi, begitu juga kantin. Tidak ada kemeriahan apa-apa, masing-masing keluarga merayakan di rumah dengan sederhana, walaupun mereka orang-orang berada. Saya masih ingat, beberapa kali berkunjung ke rumah teman dan diberi amplop merah yang isinya uang. Saya senang dapat uang, bisa untuk beli buku atau majalah donald bebek. Saya sendiri, walaupun ada keturunan Tionghoa dari keluarga Papi, tidak pernah diajarkan sedikitpun tradisi menjadi seorang warga keturunan, termasuk merayakan Imlek. Walaupun saya (dan adik-adik saya) punya nama Tionghoa (nama China), tapi Papi tidak pernah juga membahasnya. Kami tetap dipanggil berdasarkan nama kami sesuai akta kelahiran. Saya tidak dipanggil Ay Lin, tapi Linda.

[caption id="attachment_319431" align="aligncenter" width="300" caption="Papi saya (kaos kuning) berfoto dengan kakak satu-satunya di ulang tahunnya ke 78, tahun 2013"][/caption]

Dan ketika Imlek saya dapat Angpao dari orang lain (bukan dari keluarga saya), Papi bilang, "Disimpan uangnya, jangan buat jajan sembarangan," tanpa menjelaskan makna dari amplop merah itu dan kenapa saya tidak pernah diberi angpao dari keluarga sendiri, padahal saya tahu kami juga merayakan Imlek.

Itulah Imlek ketika saya kecil. Sunyi senyap.

Sejak beberapa tahun lalu, semua berubah, tepatnya sejak runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Adalah Gus Dur, Presiden yang saat itu menjabat, turut memperjuangkan kebebasan merayakan Tahun Baru bagi warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967, tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Di sana tercantum, "Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga." (Pasal 2)

Hal ini mungkin berkaitan dengan asumsi bahwa semua budaya dan agama tradisional Tionghoa dianggap menjebatani berkembangnya paham komunis yang sudah masuk ke Indonesia pada masa itu.

Memang tidak mudah mengaku sebagai keturunan Tionghoa pada masa orde baru. Kalau tidak punya backing yang kuat, sulit untuk membuka usaha atau bahkan mendapat pekerjaan. Sekolah saya pun, kalau ada pertandingan olahraga antar sekolah, selalu diteriaki lawan bermain "Cina! Cina! Cina!" ketika berlaga. Saya aman, karena secara fisik, mata saya lebih besar dan kulit jauh lebih gelap daripada teman-teman saya yang jelas-jelas keturunan. Jadi, kalau melintas di depan kubu lawan, saya tidak akan diteriaki. Lain halnya dengan teman-teman yang jelas terlihat dari perawakannya: kulit kuning langsat, mata sipit.... wah ini! Siap-siap kuping panas. Tapi tampaknya teriakan "Cina beleng!" atau "Woiii Cina lu!" sudah biasa buat mereka.

Setelah mencabut Inpres di atas, Gus Dur menindaklanjutinya dengan mengeluarkan keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2001, yang meresmikan Imlek sebagai hari libur yang fakultatif. Sejak itu pula, WNI keturunan Tionghoa mulai lebih leluasa. Mereka menghias Klenteng tempat mereka beribadah, menandakan suka cita menyambut tahun baru. Pasar-pasar menjajakan kue-kue dan penganan untuk sembahyang, termasuk dupa berbagai ukuran yang makin mudah didapatkan.

Saya sendiri, ketika itu masih berdiam di Yogyakarta, turut merasakan keleluasaan ini, dengan berkunjung ke rumah teman yang merayakan Imlek, untuk mengobati kerinduan masa kecil saya. Saya disuguhi makanan manis, kue keranjang dan jeruk. Wah, senangnya!

Tahun 2002, ketika masa pemerintahan Megawati, Imlek dinyatakan sebagai hari libur nasional. Suasana pun berubah. Menjelang Imlek, pernak-pernik Imlek dijual bebas di berbagai pusat perbelanjaan, atraksi barongsay dimana-mana, stasiun televisi menyiarkan berbagai beritanya, topik tentang hari besar ini tidak lagi tabu untuk dibicarakan. Imlek tidak lagi sunyi senyap seperti dulu. Lebih meriah dan bahkan menjadi hari yang ditunggu-tunggu, termasuk oleh saya sendiri.

[caption id="attachment_319429" align="aligncenter" width="300" caption="Mendoakan arwah leluhur bersama anak saya, pada Imlek pertamanya tahun 2009"]

1391147180466216950
1391147180466216950
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun