Mohon tunggu...
Elfatta Anjari
Elfatta Anjari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Ilmu yang manfaat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Mbah Supinem (Seorang Diri Menyambung Hidup)"

19 Juli 2011   12:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:33 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bissmillah…^_^

Ketidakpuasan adalah milik manusia. Selalu saja ada hal-hal yang membuat manusia merasa kurang dalam hidupnya. Manusia selalu saja tergoda untuk menuntut lebih banyak dan semakin banyak saja. Selalu saja merasa milik orang lain terlihat jauh lebih bagus dari miliknya.

Dalam skala kecil ketidakpuasan bisa dijadikan alat untuk memotivasi seseorang untuk memperjuangkan hal yang lebih baik dalam hidupnya. Ketidakpuasan dapat dimanfaatkan sebagai pemicu untuk membuat hari esok lebih baik dari hari ini. Namun.., jika manusia terus menerus memikirkan ketidakpuasan demi ketidakpuasan dalam hidupnya, dia akan menjadi manusia yang tidak tahu terima kasih. Dia akan jatuh dalam pengingkaran atas nikmat Allah kepada kita. Hal itu terjadi karena manusia sibuk melihat ke atas dan lupa untuk melihat ke bawah.

Saya awali cerita ini dari berkenalan dengan nenek yang umurnya sudah 67 tahun yang bernama ‘mbah Supinem’. Nenek yang mempunyai 2 orang anak yang kesemuanya telah meninggal, ini setiap harinya berkutat di pinggir jalan depan kampus swasta di daerah Jawa Tengah…

Tidak bermaksud membahas tentang kampusnya, sehingga saya akan fokus untuk menyoroti keseharian nenek ini di depan kampus,,

Nenek ini datang ke kampus (depan pagar gerbang) selayaknya mahasiswa yang berlalu lalang memulai aktivitasnya menuntut ilmu dikampus ini setiap jam 08.00 WIB, setiba ditempat yang biasa menjadi tempat duduk untuk meminta sedikit belas kasihan (istilah kasarnya mengemis) dari orang-orang yang menjalankan aktivitasnya setiap pagi di hari itu,,

1311079293727658037
1311079293727658037

Cukup lama (beberapa bulan) saya memperhatikan nenek Supinem, sejenak saya ingin memperhatikannya. Saya sengaja memperhatikan beliau tentang seberapa lama beliau duduk dipinggiran jalan yang rame dengan asap kendaraan bermotor tersebut. Namun, karena banyak aktivitas yang harus saya juga lakukan, maka tidak lama saya pun beranjak dari mengamati mbah Supinem.

Jam tangan saya menunjukkan pukul 14.00 WIB, aktivitas saya berakhir pada pukul itu, saya pun beranjak untuk pulang. Melewati gerbang kampus, saya pun terkejut karena melihat nenek iajh masih duduk disana. Saya pun mencoba berbincang-bincang dengan bahasa jawa selayaknya saya adalah cucunya,,

1311079589970482823
1311079589970482823

Potret mbah ijah ini menjadi miris karena orang tua yang seharusnya di masa tuanya tidak bekerja keras menyambung hidup, namun harus tetap berusaha untuk menyambung hidup dengan mencari nafkah. Lalu kemanakah putra-putrimu mbah Supinem? Terbersit dalam benak saya untuk menanyakannya, namun saya tidak ingin menguak lebih dalam kehidupan pribadi yang mungkin saja bagi mbah Supinem hal sensitif ini.

Karena seringnya mbah Supinem ini datang dikampus, sehingga orang-orang disekitarnya (mahasiswa, karyawan, pedagang dan orang yang lalu lalang) setiap harinya sudah terbiasa dengan hal ini, sehingga mereka tidak lagi menganggap apa yang dilakukan mbah Supinem hal yang membuat mereka iba melihatnya. Bahkan, mereka menjadi kebal sehingga menganggapnya biasa. Tidak banyak juga yang saya dapat lakukan, namun penyisihan rizqiuntuk membantunya serta doa itulah yang mungkin dapat menyambung hidup dihari-harinya.

Semoga saja potret kemiskinan di atas tak lagi  membuat kita mengeluh dan mengeluh atas hidup yang kita jalani. Masih banyak orang lain yang jauh tidak beruntung daripada kita di dunia ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun