Salah satu cara (sayangnya belum terbukti jitu *tepok kepala), yang saat ini sedang saya coba dalam rangka move on adalah escape by travelling! Ha-ha. Mencoba menghilang dengan berpetualang. Mudah! saya cukup buka google dan search tempat wisata terdekat.
Then, I found. Ouch, I haven’t been here, I haven’t been there.
Hallo, this is Indonesia, the more you explore, the more you know that there are so many interesting places you haven’t visited then you must visit!.
Maka, pilihan terdekat saya adalah pergi menuju Asta Tinggi Sumenep, sembari membawa tagline di dada: “Ketimbang galau ingat mantan, mending ingat mati”. Ayo wisata ke kuburan! hloh!
Jadi apa sih Asta Tinggi?
Asta Tinggi Sumenep adalah kompleks pemakaman raja-raja Sumenep. Yah, saya ga' bisa dimakamkan disitu dong T.T
Bagi kalian yang belum tahu dimana Sumenep, err… Sumenep terletak di bagian paling barat pulau Madura, setelah Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Katanya kota ini kota ningrat dimana lahir dan tinggal keturunan para raja, darah birunya orang-orang Madura.
Lokasi Asta Tinggi terletak di perbukitan, hal tersebut untuk membedakan dengan (makam) rakyat biasa. Menuju kesana sedikit menanjak. Lokasinya mudah dicari dan cukup dekat dengan pusat kota Sumenep. Diluar lokasi banyak berjejer pedagang lokal menjajakan makanan atau suvenir khas.
Nah kita beranjak ke materi Sejarah.
Tentang Sumenep sendiri berasal dari kata Songennep yang berarti lembah (Song) yang tenang (Ennep). Penguasa pertama Madura adalah Aria Wiraraja yang atas penugasan Prabu Kertanegara raja Singosari (1269 M) memerintah di kota ini. Agama Islam masuk dan berkembang di Sumenep sejak pemerintahan Pangeran Joharsari (1339 M) dengan masuknya seorang mubaliq Islam bernama Rato Pandita. Namun menurut Sejarah Wali Songo, mubaliq pertama yang masuk Sumenep adalah Ali Murtadha atau Sunan Lembayung Fadhal, yang merupakan adik Sunan Ampel.
Tahukah kalian bahwa yang paling menyenangkan dari hidup di Madura adalah begitu kentalnya suasana religius Islam di sini. Saat pulang kerja, menjelang maghrib dari kos-kosan bisa terdengar alunan merdu santri mengaji dari masjid terdekat. Betapa menyenangkannya. beberapa channel TV kabel lokal di-dominasi acara ceramah keagamaan. Ah, belajar agama, jika alhamdulillah bisa mendapat hidayah Allah sungguh menyenangkan disini. Suasana yang sungguh sulit ditemukan saat saya tinggal di Surabaya dan Jakarta.
Balik ke Asta Tinggi, rupanya kompleks pemakaman raja-raja ini telah berdiri sejak abad 16 M, dibangun oleh Pangeran Rama (1695 M) dalam rangka menghormati jasa para leluhur Sumenep. Adipati Sumenep pertama yang dimakamkan di Asta Tinggi bernama Pangeran Anggadipa yang memerintah pada 1626 M. Pangeran Anggadipa dikenal karena penguasaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, ilmu tata pemerintahan dan ilmu agama. Beliau yang mendirikan masjid Laju, masjid pertama di Sumenep. Awalnya, makam beliau hanya dikelilingi rimba belantara dan bebatuan sampai kemudian, Pangeran Rama mendirikan pagar berupa batu yang disusun rapi tanpa campuran tanah semen dan batu gamping.
Pada tata tapak, kompleks Asta Tinggi terdiri dari dua bagian, Barat dan Timur. Masing-masing bagian memiliki gapura dan pasarean (berasal dari kata sare: tidur) yang memiliki cirri khas berbeda. Gapura Barat memiliki corak arsitektur Jawa. Hal tersebut dikarenakan pada masa pemerintahan Pangeran Rama, Sumenep berada di bawah kekuasaan Sultan Agung Raja Mataram (1624 M), yang menguasai seluruh kerajaan di Madura.
Pasarean Pangeran Jimat dengan gaya arsitektur Jawa
Kompleks Barat terdiri dari 3 pasarean yang memiliki bentuk arsitektur khas Jawa. Pasarean pertama, beberapa diantaranya, bersemayam makam Pangeran Anggadipa dan Pangeran Rama. Pasarean kedua, salah satunya, adalah makam Pangeran Jimat. Sedangkan Pasarean ketiga, salah satunya, adalah makam Raden Bendara Moh. Saud, yang dipercaya memiliki karomah dan menjadi pimpinan Sumenep sampai ketujuh turunannya!
Yang menarik adalah pasarean kedua, dimana Pangeran Jimat dimakamkan. (Kok namanya jimat? hehe). Sejatinya Pangeran Jimat adalah sebutan untuk Raden Ahmad, yang merupakan putra Pangeran Rama. Nah! mengapa disebut Pangeran Jimat? Terdapat beberapa kisah mengenai hal ini. Salah satunya adalah mengenai perebutan kekuasaan dan keris bernama “Si Jimat”.
Namun, kisah yang lebih menarik untuk saya percaya adalah bahwa penyebutan itu dikarenakan apapun perkataan Pangeran Jimat dikisahkan selalu musjatab. Hal tersebut dikarenakan Raden Ahmad, sejak sebelum dan sesudah menjadi adipati Sumenep-kemudian disebut sebagai Pangeran Cokronegoro III- dikenal sangat kuat ibadahnya kepada Allah SWT. Saking istiqomah-nya terhadap Allah SWT, do’a Pangeran Jimat selalu dijabah Allah SWT. Oleh karenanya, banyak masyarakat yang memiliki hajat, berdo’a dengan perantara Pangeran Jimat agar segera terkabut hajatnya.
Bagaimana Caleg? Tertarik untuk mencoba? :P
Dikisahkan sampai akhir hayat beliau tidak beristri. Dalam keseharian, Pangeran Jimat ditemani dua orang kerdil. Nisannya dapat ditemukan di sisi kanan dan kiri kuburan Pangeran Jimat.
Samping kanan adalah kuburan manusia kerdil.
Nah si mas ga’ boleh berdoa minta jodoh sama kuburan lo ya…
Gapura dan bangunan di sebelah timur, meskipun bentuk corak dan warnanya masih selaras dengan Gapura Barat, namun sudah mengadopsi sedikit cirri khas arsitektur Cina, Eropa dan Arab. Paling jelas terlihat pada kubah makam Panembahan Notokusumo Asirudin I (1762-1811 M). Gapura Timur dibangun sendiri oleh Panembahan Notokusumo Asirudin I (Panembahan Semolo) yang kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Abdur Rahman dan cucunya Panembahan Moh. Saleh (Natsayasuma II).
Panembahan Notokusumo Asirudin I juga dikenal memiliki pengetahun agama Islam yang sangat luas. Beliaulah yang membangun keraton Sumenep (1780 M) dan Masjid Agung Sumenep pada tahun 1778-1787 M. Arsitek pembangunan keraton dan masjid dipercayakan pada seorang Cina lo, yang bernama Lauw Piango, yang pindah akibat huru-hara di Semarang dan kemudian menetap di Sumenep.
Gapura Timur Asta Tinggi dipengaruhi gaya Arsitektur Eropa. Kanan kiri terdapat kaligrafi cirri khas arsitektur Islam. Warna kuning sangat mencerminkan gaya arsitektur Madura. Namun ada kolom iconic mengadopsi gaya Eropa.