Mohon tunggu...
Lina M
Lina M Mohon Tunggu... Lainnya - Wisteria

There's gonna be another mountain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kumbang Berpusing di Bunga Layu

10 Mei 2020   14:22 Diperbarui: 10 Mei 2020   14:32 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://twitter.com/Elidanza

"Kau lebih baik di sini."

Salsa mengajak Noah ke roof top. Jarinya menunjuk kursi dan meja kayu di bawah kanopi, di sampingnya terdapat sekotak taman yang ditanami Aster dan Violet. Noah tersenyum lalu bertepuk tangan mengakui kemampuan Salsa dalam mendesain rumah.

"Kau mau kemana?" tanya Noah.

"Kopi panas untukmu." Salsa tertawa. Langkah kakinya tegas mengetuk bumi.

"08.12 malam," gumam Salsa sambil menyiapkan cangkir kosong berikut baki keramik bercorak wanita menari. Tatapannya mengarah pada jendela kaca mosaik warna-warni, nanar dan dalam. Bias cahaya dari luar membuat wajahnya ikut berwarna-warni. Sebelum kembali ke atap, Salsa ke kamar mandi untuk mengetahui suaranya masih tercekat di leher atau tidak.

"Ah sial!" Suaranya masih parau! "Aku tidak boleh terlalu lama di sini," katanya pelan. Matanya memejam karena kecewa dengan suaranya yang alih-alih lebih tenang malah menjadi gemetar dan bernada tinggi. "Sssshhhh....." Ia mencoba menegakkan diri. Telapak tangannya menepuk-nepuk lutut yang bergetar.

"Oh Tuhan!" rintihnya. "Tolong aku...."

Salsa menghembuskan nafas lega setelah berhasil sampai dapur. Setidaknya ia tinggal mengambil cangkir kopi, meletakannya ke nampan lalu membawanya ke atap. Namun ia kembali jatuh terduduk di lantai ketika mendengar tawa terbahak-bahak yang memekikkan telinga. Mata Salsa kembali menatap jendela kaca polos, batinnya berteriak ingin segera mengganti semua kaca polos dengan kaca mosaik, termasuk kaca matanya sendiri.

Noah menatap pintu besi yang tak kunjung terbuka. Kemana Salsa? Katanya membuat kopi, tetapi mengapa sampai sekarang belum kembali? Apakah Salsa belum selesai membuatnya? Ah tidak! Salsa adalah peracik kopi yang handal. Kopi seakan sudah menjadi kebutuhannya. Maka tidak mungkin jika stok kopi atau air panas habis, dua hal itu selalu tersedia di rumah.

"Sa!" teriak Noah. Biasanya dengan satu panggilan Salsa akan segera menyahut.

"Sa!" Noah kembali berteriak, tetap tidak ada jawaban. Ia berdiri, bermaksud mencari Salsa, menelisik semua ruangan.

"Saa..." Kamar Salsa kosong.

"Saa..." Ruang TV pun kosong.

"Saaa..." Ruang baca favoritnya pun kosong.

"Saaa...." Ia memelankan suara ketika membuka ruang doa. Salsa berada di sana, duduk dengan tenang, mata terpejam dan bibirnya komat-kamit memanjatkan doa.

"Oh." Noah menutup pintu, namun sebelumnya ia membelai kepala Salsa dengan lembut. Gadis itu memang penuh kejutan.

Noah meninggalkan ruang doa. Matanya melirik pintu kamar mandi yang terbuka. Hal itu tidak biasa! Salsa adalah orang yang tertib dalam segala hal. Dapat dipastikan Salsa tidak tahan melihat lampu menyala di siang hari, keran yang terus menetes apalagi pintu kamar mandi yang terbuka. Namun ia tidak mau berpikiran macam-macam. Mungkin tadi Salsa terburu-buru.

"Hah?" Noah mendapati cangkir kopinya sudah berisi kopi, sudah dingin. Satu cangkir lagi terlihat masih panas. Ia tertegun sejenak.

"Sa?"

Pintu ruang doa masih tertutup rapat. Mungkin Salsa sedang memiliki banyak hal yang ingin diceritakan pada Tuhan, pikirnya. Noah membuang prasangka buruknya jauh-jauh.

Setelah tidak terdengar suara apapun, Salsa membuka mata. Hembusan nafas panjang yang bergemuruh menyeruak rongga tenggorokan. Hembusan itu membuat dua lilin yang menyala di depannya mati.

"Aku harus mampu menghadapinya hari ini."

Salsa berdiri. Kali ini ia sudah lebih tenang dan sinar matanya kembali tegas. Dengan cekatan ia memberesi sisa keberantakan yang telah terjadi.

Kopi yang awalnya masih panas sekarang sudah dingin. Salsa menambahkan air lalu memberinya es batu, kemudian ia membuat kopi panas lagi untuk Noah. Ia berjalan santai menuju atap, tangannya dengan mantap membawa baki berisi kopi panas mengepul. Tidak hanya kopi, ia menyajikan biskuit jagung dan beberapa cokelat keping.

Langkahnya kembali terhenti di depan pintu besi, lagi-lagi ia membenci jendela polos persegi yang dapat dengan jelas menampakkan pemandangan luar. Salsa menatapnya sejenak lalu bersembunyi, menempatkan diri di samping pintu. Ia lebih memilih mendengarnya saja tanpa harus melihat sesuatu yang terjadi di luar sana. Setelah semuanya kembali hening, Salsa menggigit bibir begitu mendapati kopinya telah menjadi dingin, es kopi sudah meluap dari bibir gelas yang mungkin rasanya sudah tidak manis lagi. Dengan cepat ia menuju dapur untuk membuat kopi panas. Namun hal yang sama kembali terulang, ia tertahan di balik pintu hingga kopi mendingin.

Hal serupa terulang hingga empat kali.

"Saa..." panggil Noah. Wajahnya  berseri-seri ketika melihat Salsa bermain ponsel sambil mengaduk kopi. Gayanya yang santai membuat Noah semakin gemas. "Kau ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuat secangkir kopi panas untukku, Sa."

"Tunggu saja di atap, aku akan segera membawakannya untukmu," kata Salsa. Noah mengangguk lalu berjalan meninggalkan dapur. Salsa terlihat tergesa-gesa menyusul. Sebentar kemudian ia sudah berada di belakang Noah membawa secangkir kopi panas beserta biskuit jagung dan cokelat keping.

"Terima kasih calon istriku." Noah memujinya. Pipi Salsa memerah. Noah menyukai reaksi itu, jika melihat Salsa tersipu maka akan membuat hatinya seolah berselaput mahkota bunga mawar.

"Coba kau ceritakan sesuatu yang menarik padaku," rengek Salsa manja.

"Aku sedang tidak memiliki cerita menarik untuk diceritakan padamu, Sa."

Salsa tersenyum kecut.

"Atau mungkin lebih baik kita membahas pernikahan kita?" tanya Noah. Salsa menundukkan kepala, jari-jarinya mencubiti ujung jari yang lain. "Topik itu jangan disinggung dulu, Noah. Aku sedang capek."

Noah maklum. Salsa baru saja pulang dari luar kota. Pertemuan mendadak malam ini karena Salsa mengatakan rindu padanya. Noah sudah menyuruhnya untuk beristirahat terlebih dulu, namun Salsa sepertinya sangat merindukannya, ia lah yang memaksakan pertemuan ini.

Noah melirik jam tangan. "Aku harus pulang dan kau harus segera istirahat, kan?"

Noah menatap wajah Salsa yang lelah. Ia harap pertemuan ini membuatnya dapat tidur nyenyak. Ia tahu tahun ini adalah tahun terindah bagi Salsa. Diawali awal tahun lalu ia lulus master, sebulan kemudian bekerja di Singapura hingga saat ini. Noah pun turut membahagiakannya dengan meminang Salsa minggu lalu dan 2 bulan lagi mereka akan menikah.

"Aku pulang," kata Noah. Salsa mengangguk.

"Ada apa denganmu hari ini, Salsa?" gumam Noah ketika perjalanan pulang.

Noah heran mendapati ibu dan adiknya terlihat menunggu kedatangannya. Begitu melihatnya datang, Ibu langsung memeluknya.

"Ada apa?" tanya Noah pada Jordan. Jordan hanya menghela nafas panjang. Tangis ibu semakin menjadi-jadi setelah mengetahui Noah baru saja menemui Salsa.

"Kak, besok jangan pulang terlalu malam. Ada beberapa hal yang ingin Ibu dan Ayah bicarakan," kata Ibu setelah kembali tenang. "Sekarang kamu istirahat yang cukup ya."

Noah mengangguk.

Tidur? Hhmmm tidak semudah itu untuk dilakukan. Noah meletakkan jam dinding di depannya, ia memperhatikan jarumnya bergerak sepanjang waktu. "Hahahaa..." Tawanya terdengar lagi.

***

"Noah, ayah dan Ibu sudah tahu."

"Tahu apa?" Noah kebingungan,

"Noah, ayah dan Ibu sudah tahu apa yang terjadi padamu."

Noah tertegun. Kini lehernya seakan dicekik, nafasnya memburu. Ibu memeluknya sebelum akhirnya mengatakan, "Pernikahanmu dengan Salsa lebih baik ditunda, Noah."

Mendengar demikian Noah seakan mengalami kram seluruh tubuh. Ia hanya dapat terpaku. Wajah yang semula berseri-seri kini luntur dan mengusut. Ia menangis menatap ayah dan ibu, sosok yang selalu mendukung setiap langkah dan keputusannya.

"Cepatlah sembuh, Nak. Kami semua ada di sampingmu, menyayangimu."

***

Salsa tertegun. Matanya mengarah pada monitor. Ia memang tenang akan tetapi hatinya hancur porak-poranda.

Salsa menangis, menundukkan kepala dalam-dalam. Melalui mata, batinnya mengalah untuk tidak melihat layar yang menampilkan Noah tertawa, berbicara dan ngomel sendiri. Telinganya dapat dengan jelas mendengar tawa terbahak-bahak serta perkataan random tidak masuk akal. Rekaman cctv itu benar-benar memukul jiwa dan batin Salsa sedalam-dalamnya. Kini ia pun harus meyakinkan diri jika pernikahannya benar-benar ditunda. Meski hanya ditunda tetapi Salsa tidak tahu apakah pernikahan dengan Noah akan benar-benar terjadi atau tidak. Apakah Noah berhasil menyintas masalah ini?

Segalanya kini menjadi mosaik, bukan hanya mengabur melainkan tertutup oleh gambar yang lain. Salsa menyerah ketika semua pandangannya menjadi Phenakistoschope.

"Tuhan, sejauh inikah kami harus menyintasnya?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun