Aku tidak pernah melihat hal itu, membuatku terus berdiri di depan pintu gerbang, menunda diriku untuk masuk rumah serta menahan rasa sakit di lutut. Eh sebenarnya tidak sesakit itu!
Aku benar-benar ingin menunggu Aline hilang dari pandanganku meski lebih dari dugaan, ia berjalan lebih lambat dari yang kukira. Keesokan harinya setelah pulang sekolah aku menangis. Aline tidak berangkat sekolah. Hari selanjutnya aku menangis lagi, Aline tidak berangkat sekolah. Ketika kudatangi rumah Aline sudah kosong.
Kemana perginya Aline, tidak ada yang tahu. Aku menangis. Mengapa Aline menghilang begitu saja? Mengapa terlalu tiba-tiba, Aline?
***
Sampai saat ini aku tidak mengerti keberadaan Aline. Aline pun seakan tidak memberi celah kepada manusia sepertiku yang selalu mencarinya. Ia bahkan seperti tidak mendigitalkan diri, tidak ada rekam digital yang dapat kutemukan atas nama Aline Reynaldi.
Jauh-jauh hari sebelum memberanikan diri untuk menemukan Aline, aku berjanji tidak akan membuatnya menangis atau terluka lagi. Aku berjanji jika suatu saat nanti aku berkesempatan untuk bertemu dengan Aline, aku dapat bersikap tegas dan kharismatik. Harapanku untuk menemukan Aline tidak pernah pupus. Aku hanya ingin meminta maaf tentang kebodohan masa kecilku. Itu saja.
Berbagai cara kuusahakan. Segala sesuatu yang mungkin menarik perhatian Aline kudatangi. Batinku meronta-ronta nelangsa. Yang kukenal adalah Aline gadis kecil. Apakah ia tumbuh dewasa dan tetap seperti itu?
Aku memperhatikan setiap perempuan yang berkelebat di depanku. Tidak jarang aku menatap seseorang hanya untuk mengetahui wajahnya. Hari ini mungkin sudah 50 perempuan yang kulihat, semuanya nihil.
Tiba-tiba hidungku mengendus wangi bunga kaca piring. Inilah bau khas Aline. Aku segera berdiri, yakin bahwa Aline berada di sekitarku. Lagi-lagi aku ingin menangis, mataku sudah berkaca-kaca setelah melihat orang-orang di ruangan ini masing-masing menggenggam sekuntum bunga kaca piring. Suaraku sudah tercekat di leher ketika seorang pelayan memberiku sekuntum bunga yang sama.
"Terima kasih sudah hadir di pameran ini," katanya ramah.
Aku mengangguk, tentu saja. Apa yang dapat kulakukan selain itu? Jika bersuara sedikit saja pasti memalukan. Seorang anchor news tidak mungkin bersuara parau dan memiliki tatapan mata cengeng. Aku menyembunyikan diri dengan menatap lukisan wanita tua yang sedang bermain cucunya.