Bagian 1 - Bagian 2 - Bagian 3 - Bagian 4 - Bagian 5 - Bagian 6 - Bagian 7 - Bagian 8 - Bagian 9 - Bagian 10 - Bagian 11 - Bagian 12 - Bagian 13 - Bagian 14 - Bagian 15 - Bagian 16 - Bagian 17 - Bagian 18 - Bagian 19 - Bagian 20 - Bagian 21Â
Di rumah, Noya tampak sedih memandangi pintu. Berharap ada yang mengetuk pintu, dan setelah dibuka ternyata Akil.Â
"Noya, tidur. Hari sudah malam," kata ibu Noya saat melihat Noya masih begadang di ruang tamu.Â
"Aku mau menunggu Akil, Ibu!"Â
"Akil tidak mungkin datang malam-malam begini. Paman Elang akan kesusahan jika terbang di malam hari. Begitu pula dengan Akil, angin malam itu sangat dingin," kata ayah Noya yang berusaha memberi penjelasan kepada Noya.Â
"Akil di mana sekarang, Ibu?" tanya Noya kemudian.Â
"Mungkin di sana sedang hujan. Sehingga Paman Elang tidak bisa melanjutkan perjalanan pulang," jawab ayah Noya yang hanya menebak-nebak saja.Â
"Lalu Akil tidur di mana?" tanya Noya kembali.Â
"Saudara atau kerabat Paman Elang sangat banyak. Mungkin Paman Elang dan Akil menginap di salah satu rumah kerabatnya," jawab ibi Noya yang berusaha membuat Noya lebih tenang.Â
"Tapi itu cuma mungkin. Aku belum mau tidur jika Akil belum datang," rengek Noya dengan tangisnya.Â
"Ya sudah! Kamu boleh tidur di ruang tamu. Ambil bantal dan selimutmu. Jika ada yang mengetuk pintu, panggil ayah atau ibu supaya membukakan kunci pintu," kata ayah Noya yang mengizinkan Noya untuk tetap tidur di ruang tamu.Â