Mohon tunggu...
Lina Wakhi
Lina Wakhi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

mari membaca, mari menulis

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Menyoal Hutang dan Gaya Hidup

5 Agustus 2015   22:49 Diperbarui: 5 Agustus 2015   22:49 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar https://anaswannabe.wordpress.com/2013/01/04/doa-terbebas-dari-rasa-dililit-hutang/

Ketika menyoal hutang, ini dianggap sebagai aib atau kebiasaan yang sudah meng’adat’ dan membudaya. Hutang, dalam berbagai era, baik sebelum masehi atau sekarang ini sepertinya menjadi hal yang wajar dan biasa untuk membantu menutupi ‘kebutuhan’ hidup. Sebenarnya apa hutang itu?

Menurut KBBI, utang adalah uang yang dipinjam dari orang lain. Untuk apakah tujuan utang? Tujuan dan motif berutang tentu saja beragam, namun hampir serupa pada setiap orang. Mereka berdalih untuk memenuhi ‘kebutuhan’. Kebutuhan disini menjadi sangat relative dan subjektif. Misalnya, orang yang belum memiliki rumah kemudian berhutang untuk membeli rumah karena ia butuh rumah. Namun, apakah tidak memiliki rumah harus dipenuhi dengan membeli rumah? Opsi lain, menyewa atau mengontrak rumah dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Contoh lain, orang yang lapar dan berutang untuk membeli makanan. Apakah lapar dapat dipenuhi hanya dengan berutang untuk membeli makanan? Opsi lain, meminta makanan dari sanak saudara dapat menjawab kebutuhan tersebut. Dari segala opsi pemenuhan kebutuhan, tidak semua orang begitu mengutamakan hutang, namun banyak yang berhutang. Keputusan untuk berutang pada diri setiap manusia, tentu dipengaruhi oleh pola pikir dan kecerdasan emosional seseorang.

Ada kalanya, manusia sering bias akan kebutuhan. Terjadi tumpang tindih antara kebutuhan yang menjadi prioritas dengan kebutuhan pendukung. Saya akan memberi contoh:

Dua minggu sebelum lebaran seorang ibu rumah tangga berhutang kepada saudaranya dengan alasan untuk melunasi hutang di perkumpulan ibu-ibu di desanya. Kemudian ia diberi pinjaman. Saat lebaran, handphone nya baru, baju lebaran pun baru dan seragam sekeluarga bersama suami dan kedua anaknya.

Apa yang mungkin muncul dari pikiran anda tentang kasus ini?

  1. hutang untuk melunasi hutang bukanlah hal baik. Gali lubang tutup lubang.
  2. setelah berhutang memiliki barang baru yang tersier (bukan kebutuhan utama)
  3. menimbulkan fitnah dan su’udzonisme karena dicurigai melakukan kebohongan atas alasannya berhutang.
  4. terjadi bias dan ke-tidak-transparan-an atas kegunaan uang hasil hutang, apakah benar untuk melunasi hutang yang lain, atau untuk memenuhi kebutuhan ‘show up’ ketika lebaran

Dalam islam, hutang adalah sesuatu yang dihindari dan tidak dianjurkan. Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu berdoa kepada Allah untuk dihindarkan dari hutang. Untuk lebih detail tentang dalil hutang, klik di sini.

Fenomena berhutang yang lain, tentu dalam bentuk kredit. Menurut KBBI, kredit diartikan sebagai cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai. Dalam era jual beli saat ini, kredit barang elektronik, motor dan mobil sudah menjadi hal biasa. Membeli barang secara kredit mengharuskan kita mengangsur dengan bunga. Ada kalanya, terjadi banyak kasus dimana motor harus ditarik kembali oleh dealer karena pelaku kredit motor mengalami kemacetan mengangsur. Apa yang di dapat selain kerugian uang yang sudah terlanjur keluar untuk mengangsur? Menurut saya, kredit adalah bentuk lain dari hutang namun memiliki cara dan sistematika yang berbeda. Intinya sama, kita mendapat pinjaman ‘barang’ dan kita harus melunasi kredit beserta bunganya.

Kita semua pasti setuju bahwa masalah hutang dan financial disebabkan oleh tuntutan hidup dan gaya hidup. Ketika kita masih dalam level ‘ingin membeli’, itu artinya kita belum cerdas secara financial. Ingin gadget terbaru, ingin mobil matic yang itu, ingin tas branded yang itu, dan ingin ingin yang lain sejatinya hanya akan menjerumuskan kita pada godaan hutang. Mungkin kita berpikir bahwa lingkungan social mengharuskan kita begitu, tapi bila kita secara tegas mau mengontrol diri sendiri dan ‘tidak peduli pendapat orang lain’ yang dianggap sebagai kewajaran, kita memiliki potensi untuk cerdas secara financial mengontrol keuangan dan pengeluaran kita. Hanya kita yang benar-benar tahu apa yang kita butuhkan, apa yang kita inginkan, BUKAN ORANG LAIN. Orang lain berkata, anda tidak harus selalu mengiyakan.

Ayo, stop menjadi konsumtif dan jadilah berani tidak wajar secara social selama itu tidak merugikan orang lain. Hanya diri kita sendiri yang mampu menyelamatkan kita dari hutang dan kekurangan. Karena sejatinya, Allah sudah memberi rezeki pada tiap makhluknya. Tidak ada yang kekurangan, itu pasti. Siapa yang meragukan firmanNya? Hal ini tertulis dalam Al Qur’an : Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan, dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani apabila dipancarkan; Dan bahwasanya Dia-lah yang menetapkan kejadian yang lain (kebangkitan sesudah mati), dan bahwasanya Dia yang memberikan kekayaan dan memberikan kecukupan. (QS. An - Najm [53] : 43 - 48)

Jadi, kalau masih saja merasa kurang, berhutang dan berhutang lagi untuk menutupi hutang yang lain, yuk mari berinstropeksi, apakah rezeki yang kita dapat halal? Apakah kita kurang sodaqoh? Apakah kita kurang bersyukur? Apakah ada yang salah dalam pengelolaan keuangan kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun