Mohon tunggu...
Lina Wakhi
Lina Wakhi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

mari membaca, mari menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukan Bermaksud Menyinggung SARA

23 September 2014   13:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:51 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung SARA. Ini adalah cerita tentang benturan yang saya alami di Negara kita yang heterogen ini. *uhukkk gedhe amat konteksnya pake Negara yak. Oke, ulangi. Ini adalah cerita tentang benturan yang saya alami di kantor saya yang “bigen” ini. apaan tuh bigen? kalo homogen artinya sama dan tidak ada perbedaan, lalu heterogen artinya banyak perbedaan, jadi saya menyimpulkan kalau perbedaannya hanya antara dua hal atau dua objek namanya ‘bigen’. *plak *tamparjidatsendiri

Oke, serius. Jadi begini ceritanya. Saya bekerja di sebuah tempat kursus bahasa inggris, sebagai tenaga pengajar tentunya.  Di divisi saya ini, saya adalah satu-satunya muslim. Teman-teman saya, baik guru maupun OB nya katolik dan Kristen. Kemarin, di suatu magrib yang petang sekitar pukul 6, saya baru selesai mengajar. Saya akan menunaikan sholat magrib. Namun, ruangan yang biasanya diperuntukkan untuk sholat murid dan parents atau siapapun yang muslim, sedang digunakan untuk belajar mengajar. Hal ini kadang terjadi karena minimnya ruangan media, sehingga ruang berkarpet kadang digunakan.

Setelah berwudhu, saya masuk kantor guru dengan niatan sholat magrib di kantor guru. Di dalam kantor guru, ada satu orang teman saya sedang beberes. Saya lalu memintanya keluar bila tidak keberatan karena saya akan solat di ruangan tersebut. Dia dengan senang hati mengabulkan permintaan saya karena mau pulang. Lalu saya memintanya menutup pintu ruangan. Di luar saya mendengar OB kami meminta teman saya untuk tidak menutup pintu. Tapi pintu tetap ditutup oleh teman saya. Saya kemudian takbirotul ihram. Kemudian konsentrasi sedikit buyar mendengar pintu terbuka, posisi saya yang sejajar dengan pintu membuat saya cepat menyadari siapa yang masuk. Dan orang itu adalah OB kami. (OB itu berusia sekitar 44 tahun, saya perlu menyebutkan usianya agar anda dapat mengukur kedalaman jiwanya berkaitan dengan kejadian yang saya sebut benturan ini saya ceritakan). Saya mendengar dia berujar, “Oh, lagi buat solat to?”. Saya sempat sejenak menghentikan bacaan al fatihah saya, karena saya pikir, setelah berujar demikian, OB tersebut keluar ruangan.  Tapi, amazingnya, dia masih di dalam dan MENYAPU!

Dari awal saya sengaja solat di pinggiran tembok untuk menghindari gangguan-gangguan yang mungkin datang. Memang, OB kami menyapu bagian tengah ruangan tersebut. Ini adalah godaan shoalat terbesar selama hidup saya. Jadi sholat saya kemarin tersisipi perasaan marah sebel gimana gitu. Batal ga ya?  Mau diulang sholatnya juga kemarin waktu magrib dah keburu habis.

Selesai sholat, memberesi mukena dan membenahi jilbab saya yang acakadut. Tiba-tiba si OB dengan innocent atau pura-pura innocent itu berujar, “Wah mau dilepas ya Ms? Rambutnya Ms panjang ya? Pengen liat.” Oh, my God!! Pengen saya kucir itu mulutnya, nambah sebel aja saya. Sebenarnya saya malas menjelaskan. Tapi dengan malas saya jelaskan juga kalau membuka jilbab itu tidak boleh. Apalagi di depan lelaki bukan mukhrim (yang ini ga saya jelaskan kemarin, daripada dia nanya lagi dengan pertanyaan yang bikin saya males jawabnya?) Dan kemudian dia merespon penjelasan saya dengan berujar, “Wah kalo mandi ya pake jilbab ya Ms?” *malesmalesmales. Saya sahut TIDAK, kemudian saya nyelonong pergi ke dapur mengambil tempat makan tadi siang daripada saya bertahan di ruangan tersebut dan volume kesebelan saya membesar. Kembalinya dari dapur, saya bilang ke OB tersebut kalau saya sedang sholat di ruangan guru, mohon biar tidak masuk menyapu dulu. Dengan innocecnt or pretending to be innocent dia sekonyong-konyong tanya, “Kenapa, Ms?”. Cepat saya jawab, “Ya nggak khusyuk, Pak.” Lalu si OB menyahut, “Kalau tempat saya, kalau komuni ada orang-orang gitu ga apa-apa Ms.” (Elo mau nyamain cara beribadah gue dengan cara beribadah elo?)

Well, untuk pembaca non-muslim boleh ya saya menjelaskan in glance cara peribadahan saya. Jadi dalam agama kami. sholat adalah ibadah yang sangat wajib. Sehari ada 5 kali sholat. Kenapa sholat sangat wajib dan tidak boleh ditinggalkan? Dalam ayat Tuhan kami, disebutkan bahwa Sholat adalah tiang agama. Tuhan kami pun menjanjikan hukuman dan neraka bagi umat muslim yang meninggalkan Sholat wajib. ( QS Al Ma’un 4-5, al Qalam 42-43, Al Muddatstir 38-44)

Untuk melakukan sholat, ada hal-hal yang harus dilakukan agar syah dan diterima sholat tersebut antara lain:

Berwudhu, untuk menyucikan diri sebelum menghadap Tuhan.

Tempat sholat yang bebas dari najis.

Menutup aurat

menhadap kiblat, dan sudah masuk waktu sholat.

Sedangkan untuk cara pelaksanaan sholatnya, ada rukun sholat yang harus dikerjakan berurutan mulai dari niat hingga salam.

Menanggapi kejadian yang baru saya alami, awalnya saya merasa tergores dengan hal yang saya sebut benturan tersebut. Dari kecil saya terbiasa hidup di kalangan muslim yang agak fundamental. Saya selalu dalan bagian kaum mayoritas dan tidak pernah berbenturan dengan hal-hal yang berkaitan dengan non muslim. Kemudian saya bekerja di tempat ini, dimana saya, muslim  menjadi minoritas, the only one di divisi kami. Saya mulai belajar tentang perbedaan-perbedaan tersebut, saya banyak bertanya tentang agama mereka, sebenarnya agama kami ada beberapa persamaan dengan agama mereka, contohnya tentang nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Saya kurang begitu tahu tentang kisah para nabi tersebut apakah sama dengan kisah nabi dalam agama saya. Apapun itu, ketika ada perbedaan saya mencoba menerimanya apa adanya tanpa menambah atau mengurangi. Membandingkan hanya saya lakukan sebatas dalam pikiran dan ruang-ruang pemahaman saya.

Mungkin, mungkin karena saya terbiasa di kalangan muslim yang kuat dan agak fundamental, saya terbiasa dengan perasaan superior. Lalu, mendapati orang menyapu di ruangan yang saya gunakan solat saya anggap sebagai kegiatan yang “mengubal-ubal kotoran” dan dapat memungkinkan najis di tempat solat, walaupun itu kemungkinannya kecil sekali. Terbiasa beribadah sholat dengan bebas dan tenang, lalu mendapati orang lain menyapu di ruangan yang saya gunakan solat saya sekonyong-konyong berpendapat hal tersebut mengganggu kekhusyukan saya. Terbiasa menjadi mayoritas yang agak fundamental, lalu mendapati orang lain berkilah dan berargumen dengan menyebutkan peribadahannya, lalu saya dengan mudahnya menamai hal itu sebagai usaha membandingkan ibadah antar agama.

Agama memang selalu menjadi hal sensitive untuk dibahas. Pilihannya hanya dua, saya bertahan dalam lingkungan “bigen” ini dan berusaha kebal dengan benturan-benturan ATAU hengkang dari tempat ini dan mencari lingkungan yang homogen.

Wallahhualam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun