Mohon tunggu...
Lina Sophy
Lina Sophy Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger!

biasa saja, itu lebih baik :) Nulis juga di blog pribadi : https://www.linatussophy.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kesampaian Juga Jalan ke Solo, Pramex, Keraton, PGS, dan Kopdar Sampai Malioboro

23 Mei 2010   15:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:01 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penjual, Nasi liwet dan saya (doc. pribadi)

Prameks (Prambanan Ekspress). Sejak bertahun-tahun lalu sebetulnya saya penasaran dengan kereta ini. Kereta api yang dikhususkan untuk angkutan Jogja-Solo. Namun sekarang makin panjang trayeknya sampai ke stasiun Kutoarjo. Kereta listrik yang desain interiornya berbeda dengan kereta api biasa saya tumpangi. Ada tempat khusus berdiri seperti di dalam busway ataupun transjogja.

Keinginan untuk merasakan sensasi prameks ini akhirnya tiba juga. Berawal dari percakapan ringan dengan Lina Wija saat melepas lelah sepulang dari perjalanan Bandung-Subang kemarin. Perjalanan Bandung-Subang membuat saya ketagihan untuk bertraveling. Mmm... lebih tepatnya backpacker-an. Ide ke Solo secepatnya di iyakan Lina Wija. Dan kita sepakat untuk menawarkan sama teman-teman Canting (Kompasianer Jogja), barang kali diantara mereka ada yang tertarik untuk ikut.

Rabu Pagi, 19 Mei 2010 jam 06.30 kita ketemu di depan stasiun Tugu. Begitu kesepakatan awalnya. Tapi... Ah sepertinya saya makin jadi orang yang tidak bisa OnTime!!! Alasannya, nggak ada sepeda motor,  TransJogja jadi pilihan dan membuat saya terlambat sampai di tujuan.  Jadwal kereta jam 06.50 terlewatkan. Berbekal selembar tiket seharga Rp 9000,00 per orang kami (saya, Lina Wija, Mesha) akhirnya naik Pramex. Jarak waktu tempuh selama sekitar 1 jam tak terasa menjemukan, ini karena dua orang teman saya baru pertama kali naik kereta selama hidupnya... hahaha, biarlah saya tertawakan kalian. Kasihan bener deh... hahahaha...

Dalam perjalanan itu kami berkenalan dengan seorang dosen yang juga sejarahwan. Beliau mengajar sejarah di UNS. Sempat ngobrol-ngobrol sedikit tentang penemuan harta karun yang baru-baru ini ditemukan dalam bangkai kapal Tiongkok diperairan sekitar Cirebon. Menurut beliau, kebijakan pemerintah untuk menjual hasil temuan tersebut adalah jalan paling tepat. Tepat karena melihat kondisi pemerintahan dan masyarakat Indonesia saat ini dirasa belum mampu mengelola harta karun itu dengan baik. Alasan yang simple namun masuk akal. Selain apresiasi masyarakat yang kurang terhadap benda-benda kuno atau peninggalan sejarah, biaya perawatan dan pengelolaan pun tidak kecil. Belum lagi masalah banyaknya orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sering kali ditemukan kasus penggelapan benda-benda kuno untuk kepentingan pribadi. Jika benda-benda tersebut dijual sudah pasti kita dapat uang. Perkara nanti kalau kondisi kita sudah siap mau dibeli lagi tak jadi masalah. Toh di luar negeripun penanganan benda-benda kuno malah lebih aman. Dan disana semua serba profesional, mereka tidak akan menghilangkan identitas benda-benda tersebut. mereka akan tulis asal-usulnya dengan jelas. Namun yang paling penting, Indonesia mengurusi benda hidup saja belum beres apalagi mengurusi benda mati. Penjelasan dari Ibu Dosen yang membuat kami bertiga manggut-manggut mengiyakan. Terimakasih Bu Dosen atas obrolannya dan sedikit gambaran kota solo yang diberikan.

Kembali ke kereta. Kami turun di stasiun Solo Balapan. Stasiun yang menginspirasi Didi Kempot untuk menuliskannya dalam sebuah lagu. Kondisinya biasa saja. Tak begitu ramai tidak pula sepi. Atau mungkin karena bukan di jam-jam sibuk. Tujuan pertama kita adalah mencari tempat makan. Nasi liwet dengan suwiran ayam plus rempela ditambah tumis buah pepaya muda. Wuihhhh... nikmatnya cuma dengan harga 5000 perak. Rasanya puasss...

Selesai sarapan, kita sepakat ke keraton naik becak. Dari Solo Balapan ke Keraton sewa becak Rp 15000,00. Sebetulnya bisa ditawar lebih murah, namun karena kita bertiga dalam satu becak kita iya-in saja harga tersebut. Sesampainya disana kita disambut tante Cinta, salah satu kompasianer dari Semarang yang datang lebih dahulu. Akhirnya kita bisa bertatap muka dengan beliau yang selama ini kita kenal hanya lewat tulisannya. Selang tak berapa lama datang mbak Gendis dari Purworejo. Masih ada satu lagi yang belum hadir. Umi yang memang tinggal di solo. Namun saat itu masih berada dikampus, jadi kita putuskan untuk masuk dalam keraton dan museum. Tiket seharga Rp8000,00 meloloskan kita masuk dalam keraton.

Suasana mistis masih sangat terasa saat kita memasuki pelataran keraton. Hamparan pasir di pelataran keraton yang di ambil langsung dari pantai Parang Kusumo menggambarkan adanya keterkaitan antara keraton solo dan Ratu laut kidul. Masih banyak aturan-aturan lain yang mesti ditaati pengunjung dalam lingkungan keraton tersebut yang dijelaskan oleh seorang Guide yang bertugas disana. Salah satu contoh adalah pengunjung tidak diperkenankan memakai sendal saat memasuki area keraton, bagi yang memakai sendal diharuskan melepas dan bertelanjang kaki, ini dimaksudkan untuk menghomati raja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun