UIN Walisongo Semarang menyelenggarakan konferensi internasional bertema "Constellations and Sky Cultures: Babylonian, Greek, and Southeast Asia" pada Selasa (15/10/2024). Konferensi yang diselenggarakan secara hybrid ini merupakan hasil kolaborasi dengan Friedrich Schiller University Jerman, Langitselatan, Asosiasi Dosen Falak Indonesia (ADFI), dan University Malaya.
Fakultas Syari'ah dan Hukum (FSH)Bertempat di Ruang Teater Gedung Rektorat UIN Walisongo Semarang dan platform Zoom, konferensi ini menghadirkan pakar astronomi budaya dari berbagai negara. Acara dihadiri oleh jajaran pimpinan FSH, termasuk sivitas akademika dari UIN Alauddin Makassar yang hadir secara langsung.
Dekan FSH, Prof. Dr. H. Abdul Ghofur, M.Ag., dalam sambutannya menekankan pentingnya dialog lintas budaya dalam memahami interpretasi konstelasi bintang. "Konferensi ini membuka wawasan tentang keragaman perspektif budaya dalam memandang langit, sekaligus membangun jembatan kolaborasi antara para peneliti astronomi budaya," ujarnya.
Dr. Susanne M. Hoffmann, astronom dan sejarawan sains dari Friedrich Schiller University, menyajikan analisis mendalam tentang konstelasi dalam peradaban Babilonia dan Yunani. Presentasinya mengupas proyeksi konstelasi bintang dalam Almagest karya Ptolemy dan pengaruhnya terhadap perkembangan budaya kedua peradaban tersebut.
Avivah Yamani, komunikator astronomi dari Langitselatan, dan Prof. Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag., Ketua ADFI sekaligus Guru Besar Ilmu Falak UIN Walisongo, memberikan perspektif unik tentang konstelasi dan budaya langit Indonesia. Sementara itu, Nuril Fatini Jaafar dari Sahabat Langit Utara memaparkan interpretasi konstelasi dalam konteks budaya Malaysia melalui presentasi daring.
Dr. Ahmad Syifaul Anam, M.H., Kepala Planetarium dan Observatorium Zubair Umar Al Jailani, memandu diskusi yang menghasilkan pertukaran gagasan komprehensif tentang astronomi budaya. Moderasi yang efektif memungkinkan pembahasan mendalam dari berbagai sudut pandang keilmuan.
Amalia, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Falak UIN Walisongo, mengungkapkan antusiasmenya terhadap wawasan baru yang diperoleh. "Konferensi ini membuka mata kami tentang keterkaitan antara folklor lokal dengan astronomi, serta bagaimana konstelasi bintang membentuk kebudayaan masyarakat," ungkapnya. Ia berharap durasi konferensi serupa di masa mendatang bisa diperpanjang untuk diskusi yang lebih mendalam.
Konferensi ini menandai langkah penting dalam pengembangan kajian Ilmu Falak yang lebih komprehensif, melampaui pendekatan tradisional menuju pemahaman yang lebih luas tentang astronomi budaya. Kegiatan ini juga memperkuat posisi UIN Walisongo sebagai pusat kajian astronomi Islam yang terbuka terhadap dialog lintas budaya dan interdisipliner.walisongo.ac.id.,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H