Mohon tunggu...
Lina Pw
Lina Pw Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

tukang gembur-gemburin tanah, tapi bukan cacing

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Excuse-Moi ~ Dari ‘Bingung Kritis’ Hingga Nikah Multirasial

21 Agustus 2012   12:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:29 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku: Excuse-Moi. Penulis: Margareta Astaman. Penerbit: Kompas. Tebal: 138hlm. Harga: Rp. 35.000,-. ISBN: 978-979-709-545-1. Cetakan: pertama, Januari 2011

Bagaimana rasanya menjadi minoritas di tengah mayoritas? Bagaimana pula menghadapi aral melintang dalam kehidupan minoritas yang serba diper’kecil’? Nah Margarita Astaman berbagi pengalamannya dalam buku ini.

Suku-agama-ras dan antar golongan merupakan bahan obrolan tabu dan sensitif. Diperlukan tekad matang untuk bahkan hanya bercerita mengenai hal-hal tersebut. Namun dengan penuh kesadaran dan tak kalah penting-keberanian, Margarita Astaman atau yang kerap disapa Margie bercerita dengan piawai kehidupannya sebagai keturunan Tionghoa di Jakarta dan Singapura tempatnya berkuliah.

Buku ke-4 karangan wanita muda berdarah Cina-Betawi-Jawa dapat disimpulkan sebuah curahan hati seorang minoritas. Ia bercerita tentang asal muasalnya dan bagaimana menjadi keturunan Tionghoa di Indonesia dan dampaknya saat bersekolah di Singapura. Kumpulan tulisan pengarang muda lulusan Jurnalisme Nanyang Technological University Singapura ini menyeruakkan persoalan-persoalan yang mungkin tak pernah hinggap dalam pikiran sebagian masyarakat.

Kisah-kisah di dalam buku ini berawal dari kebingungannya menjadi ras yang ‘berbeda’ sehingga mendapatkan berbagai perlakuan diskriminatif di beberapa tempat. Dapat kita simak misalnya dalam judul ‘Mereka Bilang Saya Cina (Emang!)’, Margie bertutur tentang kisah tragis yang hanya terjadi pada keluarga Cina saat tragedy ’98 pecah. Bingung adalah hal paling awal yang dialami Margie karena jelas-jelas ia Indonesia namun terpinggirkan. Diskriminasi ini selain menimbulkan kebingungan juga mencuatkan sifat kritisnya. Ia mulai mempertanyakan segala sesuatunya, mulai dari stereotype berakar tentang ras, yang kini sudah menjadi fenomena gunung es – tidak tampak namun kapan saja bisa pecah membawa bergulung-gulung arus deras di dalamnya.

Pengalaman Margie seputar diskriminasi terangkum apik dalam buku yang terbit Januari lalu dan memberikan banyak pemikiran baru bagi pembacanya. Yang paling miris dan membuat kita berdecak prihatin dapat disimak dalam tulisannya bertajuk ‘Diskriminasi Mimpi’. Mimpi seorang anak kecil ber-etnis minoritas pun ternyata sangat terbatas. Ini juga yang akhirnya membuat keturunan Tionghoa di Indonesia terbatas lahan kerja dan cita-cita karena sejak awal sudah dibatasi bahkan dalam bermimpi. Juga Margie menjabarkan keadaan pernikahan tidak bahagia bila pasangan berasal dari ras yang berbeda/multirasial. Keadaan seperti itu dapat kita baca dalam ‘Nikah Duka’ dan ‘Durhaka Anonymous’ yang berkisah tentang hubungan backstreet beda ras.

Buku setebal 138 halaman ini bisa dikata sebuah buku yang berani dan sangat kritis bersuara tentang hal tabu dan takut dikuak dalam kehidupan masyarakat. Gaya bertuturnya yang khas dan ringan menjadi nilai utama buku terbitan Kompas ini, selain tentu kemampuan menulisnya yang patut diacungi jempol. Buku besampul cerah ini sangat cocok untuk generasi muda apalagi dalam memunculkan sifat kritis serta kesadaran sosial mereka yang belakangan seakan tak ada.

Pengemasan buku ini sendiri cukup unik, covernya tampak sangat dinamis dan playful. Tabrak warna cerah dengan gambar naga berbadan segi-segi kehidupan Tionghoa seperti bakmi, barongsai dan kuil, calon pembaca pasti dapat menebak latar belakang yang diangkat dalam buku ini. Namun yang unik adalah judulnya, Excuse-Moi. Judul yang berbahasa Prancis dengan gambar cover nuansa Tionghoa sekilas terlihat ‘tidak nyambung’, ternyata pemberian judul ini tercetus saat Margie berada di Prancis (tidak disinggung banyak) dan terdengar sesuai dengan tema tabu dan sensitif tulisan-tulisannya yang benar-benar memerlukan kata Excuse-Moi, Permisi…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun