Mohon tunggu...
Lina Pw
Lina Pw Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

tukang gembur-gemburin tanah, tapi bukan cacing

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Cumi yang Nikmat, Berkuah Hitam Pekat

15 Juli 2014   13:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:17 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1405380371413487358

Suatu sore aku dikejutkan dengan sebuah mangkok. Di meja makan. Mangkok dengan kuah hitam pekat dan bau yang menggugah air liur untuk berimajinasi.

Tumben. Pikirku. Beberapa bulan aku tinggal di Manyamba, sebuah desa di Majene, Sulawesi Barat untuk mengajar, baru sore ini aku melihat mangkok dengan kuah hitam pekat dan bau nikmat ini. Sambil menunggu kakek ‘baca’baca’ (istilah sini buat berdoa), aku mulai bisa memperjelas penglihatan perutku tentang isi mangkok tersebut. Isinya Cumi-cumi! Selesai kakek baca-baca, kami pun makan dengan lahap.

Ini terjadi di suatu sore, pada akhir bulan Mei. Dan terjadi lagi keesokan harinya, keesokan harinya dan keesokan harinya. Kurang lebih selama seminggu aku makan Cumi-cumi nikmat dengan kuah hitam pekat. Ternyata para Cumi ini memang sedang membanjiri perairan kami. Tak heran ibu angkatku memasak Cumi-cumi hampir tiap hari. Seperti di surga rasanya :p

Para penangkap Cumi biasa berasal dari nelayan yang tinggal di sekitar pesisir (yaiyalah!). Daerah Karema kerap menjadi tempat berkumpulnya Cumi-cumi hasil tangkapan nelayan. Karena salah satu tetangga ada yang asalnya dari Karema, maka kami pun pergi ke Karema di suatu hari yang penuh Cumi. Maksud dan tujuan kami jelas – memakan Cumi dan menambah kadar kolesterol dalam darah.

Puluhan Cumi-cumi dibakar dengan perapian alami dari bambu, memasaknya butuh waktu cukup lama sekitar 30 menit, tapi penantian itu sangat tidak masalah dengan kenikmatannya, Cumi-cumi bakar dengan bumbu pedas limau. Hap hap hap! Makan jangan bersuara!

Selain di Karema, kami biasa mendapatkan Cumi-cumi pada hari pasar (dua kali seminggu). Kadang-kadang bahkan ada anak nelayan yang keliling kampung jualan Cumi-cumi. Harganya? Cuma sepuluh rebu untuk tujuh ekor seukuran telapak tangan orang dewasa. Nyammm….

Banjir Cumi-cumi kurasakan di akhir bulan Mei dan selama bulan Juni. Tapi di bulan Juli pun kami masih sering mengunyah tentakel-tentakel kenyal Cumi-cumi. Ah… aku jatuh hati. Pada Cumi-cumi yang mengisi tiap hariku di Majene.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun