Koalisi Mutlak ataukah Palsu?
Oleh : Lina Puspita Ratih
Pendeklarasian bakal calon presiden dan wakil presiden sudah sejak kemarin dilakukan oleh Prabowo Subiyanto berpasangan dengan Hatta Rajasa, dan Joko Widodo dengan Jusuf Kalla. Dengan demikian putaran perang untuk memperoleh kursi kedudukan nomor satu dinegeri ini hanya akan ada satu putaran saja. Head to head akan terjadi pada saat nanti pilihan presiden berlangsung atau berhadapan satu lawan satu. Partai-partai yang telah menyatakan berkoalisi akan saling beradu kekuatan guna memenangkan pilpres kali ini. Gerindra dan PDI akan saling memperlihatkan taring mereka pada saat 9 Juli nati.
Dalam pemilu presiden kali ini terdapat dua poros besar. Sebagai poros yang akan melaju kelaga pertarungan pilpres, Partai Gerindra berhasil mengajak partai besar untuk mendukung Prabowo Subianto. Dan partai-partai yang berhasil dibawah naungan partai Gerindra adalah PPP,PKS,PAN,PPP serta Golkar. Walaupun Golkar baru menentukan sikap untuk bergabung mendukung Prabowo Subiyanto dilast minute batas berkoalisi partai. Sebagai poros yang akan melawan ketangguhan poros Prabowo Subiyanto , Jokowi juga mempunyai dukungan yang cukup relative besar untuk memenangkan pilpres kali ini. Sebagai calon presiden yang dicalonkan oleh partai PDI, Jokowi mendapat dukungan dari Nasdem , PKB, dan juga Hanura. Â Suara Gabungan dari partai yang mengusung Prabowo Subiyanto adalah sebagai berikut : Â Gerindra (11,81 %), PPP( 6,53%), PKS(6,79%), PAN(7,59%) , PBB(1,46%) serta Golkar (14,75%) yang dijika diakumulasikan hasilnya sebesar 48,93 %. Sedangkan suara gabungan dari partai yang mengusung Joko Widodo adalah sebagai berikut : Suara gabungan PDIP 18,95%, PKB 9,04%, Nasdem 6,72%, dan Hanura 5,62%, yakni 39,97%.
Sudah sangat jelas bukan jika melihat dari suara gabungan tersebut kemungkinan besar Prabowo dan Hatta Rajasa yang akan memenangkan pilpres kali ini sebagai Presiden dan Calon Presiden periode 2014-2019. Petarungan kompetitif yang terjadi antara Prabowo Subiyanto dengan Joko Widodo tentunya mutlak rakyat yang menentukan. Jalan koalisi bukanlah sebuah akhir dukungan mutlak kepada sang calon presiden yang diusung karena tidak menutup kemungkinan bahwa suara partai yang mendukung tersebut akan bocor dan berbalik mendukung lawan politiknya dalam pilpres. Namun bukan tidak mungkin bawa sang capres mampu mengarahkan seluruh masa dari gabungan partai tersebut untuk mendukungnya. Jika hal ini terjadi maka Prabowo Subiyanto dan Hatta Rajasa tentu kan menduduki jabatan Presiden dan wakil presiden tersebut. Tapi jangan disangka masa pendukung suatu partai mampu disetir oleh sang elit penguasa, karena bisa saja berbelok arah karna berbeda pandangan maupun tidak sesuai dengan hati nurani.
Perlu disadarin bahwasanya sebuah koalisi dalm perpolitikan tidaklah sekedar mendukung saja tanpa berfikir efek kebermanfaatannya. Alotnya sebuah perbincangan untuk mencapai kata bergabung berkoalisi dengan salah satu poros besar tersebut membuktikan bahwa didalamnya ada sebuah janji kesepakatan anatar kedua belah pihak, entah sebuah jabatan yang strategis maupun sesuatu yang hanya diketahui dua belah pihak saja. Koalisi sebuah partai tentunya ditentukan dengan berbagi cara dalah satunya dengan Rapimnas. Meskipun telah mencapai seuatu kesepakatan dengan Prabowo Subiyanto namun internal partai Golkar terpecah menjadi dua kubu. Aburizal Bakrie yang menyatakan sikap bahwa akan mendukung penuh Prabowo nyatanya tidak disetujui oleh Kader Muda Partai Golkar. Kader Muda Partai Golkar lebih memilih mendukung Jokowi karena Jokowi telah melilih Jusuf Kalla sebagai pendampingnya dan sudah seharusnya ARB menyatakan dukunganya kepada Joko Widodo dan Jusuf Kalla bukan malah kepada Prabowo Subiyanto. Sikap ini didasari karena dahulu Jusuf Kalla pernah menjabat sebagai Ketua Partai Golkar. Selain ini bukti pecahnya internal Golkar juga didukung Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Jenderal (Purn) Luhut Pandjaitan yang bersikap bahwa menyatakan dukungan kepada calon presiden Joko Widodo dan calon wakil presiden Jusuf Kalla.
Memang dalam perpolitikan melanggar janji, melanggar aturan, mengkhianati kawan hingga menjegal lawan politik sudah biasa dilakukan dan memang usah menjadi rahasia umum. Maka bukan tidak mungkin pilpres kali ini Jokowi yang hanya didukung suara gabungan lebih kecil dibandingkan dengan Prabowo bisa menang unggul. Kompetensi yang hanya satu putaran ini harus efektifkan meningat hanya 2 pasangan calon presiden saja. Komisi pemilihan umum akan lebih cepat dalam proses penhitungan surat suara. Rakyatpun juga tidak akan terlalu pusing dalam menentukan pilihan. Rakyat pun mampu melaksanakan hak pilihnya dalam pesta demokrasi presiden ini dengan lebih selekif. Selain itu anggaran yang dikeluarkanpun akan lebih ringan dan hemat. Lalu siapakah yang akan menjadi orang nomor satu di Indonesia tercinta ini? Prabowo ataukah Jokowi? Marilah jadi pemilih yang cerdas untuk Indonesia yang lebih baik.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H