Mohon tunggu...
Herlina Butar
Herlina Butar Mohon Tunggu... Administrasi - LKPPI Lintas Kajian Pemerhati Pembangunan Indonesia

Cuma orang yang suka menulis saja. Mau bagus kek, jelek kek tulisannya. Yang penting menulis. Di kritik juga boleh kok. Biar tahu kekurangan....

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Delapan Belas, Nadia Edelina....

2 Juni 2011   14:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:56 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Jakarta;linapers70;27Mei2011) Besok, delapan belas tahun yang lalu, dua puluh delapan Mei tahun seribu sembilan ratus Sembilan puluh tiga.

Pagi itu pukul lima lebih lima menit pagi, seorang wanita berperut buncit bangun dari tidurnya. Dengan terkantuk-kantuk, wanita itu melangkah perlahan menuju kamar mandi. Ia merasakan perutnya melilit seperti terperas. Dengan tenang ia mencoba duduk di atas pembuangan. Setelah kurang lebih sepuluh menit duduk dan mencoba memenuhi permintaan biologinya, tiada hasil. Ia hanya merasakan perutnya semakin sakit. Tak lama ia melongok, ternyata ada sebentuk darah di air. Ia segera memanggil suaminya. Ia juga segera membangunkan Teguh, adiknya dan Patar teman adiknya yang kebetulan sering menginap di rumah. Dengan tergesa-gesa, Wanita muda ini menyiapkan pakaian. Ia mengganti pakaian hamil yang berwarna biru tua menjadi pakaian berwarna bunga-bunga salem muda.

Dalam keadaan panik, ia masih sempat berfikir, wah anakku belum pernah melihat aku. Kalau nanti anakku lahir, ia harus melihat ibunya dalam keadaan yang paling cantik.

Pakaian bunga-bunga salem inilah yang dianggapnya paling baik. Hatinya berdebar-debar memikirkan pertemuan pertamanya. Merekapun berangkat ke RSCM. Menaiki minibus birutua 88 bertuliskan commando pada kap atasnya. Wanita itu, Eddy, suaminya, Teguh dan Patar berangkat terburu-buru. Pagi-pagi buta.

Tepat pukul empat lebih limabelas menit, sore. Dengan berat tiga kilo empatpuluh lima gram, panjang empatpuluh delapan senti, bayi Nadia Edelina lahir dengan cara normal.

“Bayiku lebih besar dari bayi lain”, wanita itu bahagia bisa bertemu dengan manusia yang telah bercokol selama lebih dari sembilan bulan di perutnya. Ia bahagia sekali.

Wanita itu selalu bersyukur bahwa ia bertemu dokter yang baik yang membantunya melahirkan anaknya dengan perasaan bahagia. Ia bersyukur bahwa di tengah teman dan orang-orang terbaik, anaknya dapat lahir, menatap dunia.

Kini, manusia yang dulu hanyalah sepelukan, telah berubah. Metamorfosis…….

Tuhan mengubah sebentuk bayi kecil dan mungil menjadi seorang gadis belia cantik dan rupawan. Delapan belas tahun mesin waktu melakukan proses tanpa kita rasakan dan kita ketahui.

Tumbuh menjadi gadis yang memiliki prinsip. Bila Nadia belia merasa tidak sreg, dia akan berkata tidak. Tanda tendensi, tanpa intervensi dan tanpa intimidasi. Bila Nadia Belia merasa sreg, ia akan berkata ya, tanpa seorangpun yang mampu mempengaruhi. Itulah kekuatan dan identitasnya sebagai manusia. Tetapi Nadia belia ini belum mampu membuat keputusan. Bila di hadapan berdiri berbagai macam pilihan yang harus segera diputuskan, Nadia belia belum mampu memilih ini dan berdiri atas palang konsistensi. Belum siap menerima segala resiko atas pilihannya.

Saat ini, kedua orangtuanya hanya berharap yang terbaik. Tiada secuilpun yang diharapkan dari Nadia belia, kecuali ia mampu memilih yang terbaik. Tanpa dominasi, tanpa intervensi. Tiada penting apapun bagi mereka. Keduanya hanya mengharap, Nadia mampu membuka semua pintu kehidupan, melihat ruang-ruang dalam pintu-pintu itu, memilih dan menapaki apa yang mampu dipilihnya. Pilihan buruk buruk akan berbuah pahit. Keburukan akan berbalik menjadi bumerang. Tapi manusia tidak pernah yang murni tanpa melakukan kesalahan. Ada kesalahan besar ada kesalahan kecil. Kesalahan menjadi pintu pembelajaran. Menjadi sebuah perbaikan.

Kebaikan selalu akan menjadi buah manis bagi kehidupan kelak.

Wanita itu tersenyum dalam hati. Bahagia. Apapun kesalahan yang pernah dipilihnya, tidaklah menjadi beban bagi Nadia kecil dan Nadia belia. Wanita itu bahagia. Bukan harus memiliki uang berlimpah. Tidak harus memiliki harta benda. Kebahagiaannya menjadi ibu juga kebanggaan ayah Nadia, hanyalah bila mereka mampu mengantar manusia-manusia yang pernah mereka lahirkan ke muka bumi menuju tempat terbaik, membantu menuntun mereka memilih yang tepat bagi manusia-manusia itu. Hanya Tuhan dan manusia itu sendiri yang tahu. Buah manis yang akan kita dapat. Entah di bumi entah nanti setelah kita mati….. (redaksi)

Pilih dan jalani, putri kecilku…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun