Hari ini, Kamis 14 Desember 2017 saya patut mencatat sebagai bagian indah perjalanan KPK, yang perjuangannya memang didukung oleh banyak rakyat Indonesia.Â
Perjalanan perjuangan sebuah lembaga adhoc yang harus berbenturan dengan sebuah tembok kokoh maha kuat yang bernama korupsi.
Setelah lelah tawa kita melihat sinetron episode "praperadilan 1", bersambung dengan episode "sakit", bersambung lagi dengan episode "menang praper, sembuh", Â bersambung lagi dengan episode "pemanggilan paksa, menghilang", bersambung lagi dengan episode "tiang listrik", bersambung lagi dengan episode "bakpao", rakyat Indonesia seperti disuguhi tontonan keropeng busuk wajah anggota lembaga terhormat di negara tercinta. Tontonan yang sembari memperlihatkan keuangan yang maha kuasa telah melecehkan makna "kebenaran" dalam dunia hukum di negeri yang telah merdeka selama 72 tahun.
Saat menonton ILC yang bertajuk "KPK vs Novanto: Berpacu Dengan Waktu", mungkin masyarakat dipusingkan oleh pernyataan pengacara Novanto dan KPK yang saling silang pendapat.Â
Mungkin kita juga dibingungkan lagi oleh penjelasan profesor-profesor yang kadang saling berseberangan dalam pengetahuan.Â
Acara ini jelas-jelas membuka wajah  para profesor yang sebenarnya. Wajah  para profesor yang pro KPK dan pro Novanto, atau wajah  para profesor yang yang kontra KPK dan kontra Novanto.Â
Tak disangsikan lagi, nama-nama mereka sudah terlabel karena pendapat-pendapat mereka yang kelihatan berpihak.Â
Wong orang yang ada di kubu KPK, itu-itu saja, yang di kubu lawan KPK juga orangnya itu-itu saja.
Yang patut digaris-bawahi adalah pendapat dari Saor Siagian, SH, MH.Â
Pada acara itu, advokat ini cenderung memberikan pendapat yang sederhana. Tanpa bertele-tele Saor Siagian mencoba mengajak para advokat untuk berani melakukan pekerjaan profesional secara "holistik".
Barangkali, yang dimaksud olehnya adalah mengajak para advokat bekerja secara profesional dengan mengedepankan hati, dan bukan demi uang semata.