Saat kemarin Rabu, 13 Desember 2017, mungkin Setya Novanto dan tim pengacaranya berusaha meyakinkan majelis hakim bahwa dirinya sakit. Dengan penampakan yang selalu menunduk selama masa persidangan, mengaku diare buang air hingga 20 kali, berusaha menampilkan kesan tidak mendengar pertanyaan hakim, hingga memasang wajah kusut masai agar kesan sakit tercapai.
Mungkin, Setya Novanto dan tim pengacaranya berharap bahwa dengan strategi "kusut masai" nya, mereka dapat meyakinkan majelis hakim untuk menunda persidangan yang menyangkut pokok perkara.Â
Mungkin, Â Setya Novanto dan tim pengacaranya berharap dengan penundaan pokok perkara tersebut, maka sidang pra peradilan tetap dapat berjalan dan Setya Novanto memperoleh kemenangan.
Hingga pagi tadi, saat saya kumpul bersama teman-teman, ada salah seorang yang memang berprofesi sebagai advokat memberikan komentar skeptis. Mas Hen berpendapat, apa saja bisa terjadi di belakang mimbar. Mas Hen tidak yakin bahwa KPK akan mampu menggugurkan permohonan pra-peradilan Setya Novanto. Saya berpendapat sebaliknya. Saya hanya berfikir, negara ini harus berani memulai sesuatu dengan tindakan hukum yang "etis". Negara harus mampu memberikan jaminan keadilan yang "elok" etis berdasarkan kebenaran dan bukan pembenaran atas nama hukum.
Siang hari, saya menyempatkan diri mampir ke belakang Pasar Sunan Giri, Rawamangun untuk menikmati bakso dan es teler kegemaran saya saat masa SMP dulu. Begitu saya duduk untuk memesan bakso, para pelayan di kios kecil itu sedang ramai membicarakan Novanto.
Mereka nyinyir, mereka memperhatikan dan mereka perduli. Tetapi, rentetan kebohongan yang selalu menang seakan selalu melecehkan "etis" kebenaran atas nama hukum. Semua ini membuat mereka mual.
Siang ini, bahkan tukang baksopun bersorak girang. Mereka membeli koran, mereka serius membaca kemenangan KPK pada pra-peradilan. Bagi orang-orang sederhana ini, kemenangan KPK adalah kemenangan mereka. Kemenangan rakyat kecil terhadap liukan dahsyatnya permainan koruptor.
Selamat buat KPK...