Hari Kamis, 10 Agustus 2017 di istana Presiden seharusnya tidak ada yang luar biasa. Ada pertemuan antara Agus Harimurti Yudhoyono dan Gibran Rakabuming Kamis, 10 Agustus 2017 di istana Presiden tersebut.
Yang satu anak mantan Presiden yang sekarang adalah warga negara biasa, yang ingin menyampaikan undangan kepada Jokowi untuk menghadiri peluncuran lembaga yang ia pimpin, The Yudhoyono Institute.
Yang satu lagi, anak Presiden, yang menerima kehadiran anak mantan Presiden menggantikan posisi bapaknya.
Mengingat dalam kapasitasnya sebagai Presiden, menerima undangan dari seorang warga negara biasa untuk menghadiri peluncuran sebuah lembaga milik pribadi, tentu agak janggal. Tidak elok rasanya.
Apalagi kedatangan AHY dibarengi dengan serombongan media massa yang memberitakan kedatangannya ke istana hanya sekedar untuk menyampaikan undangan.
Presiden, menerima undangan dari AHY? Hmmm, bagaimana konteksnya supaya lebih pantas?
Tentu akan lebih pantas, bila anak mantan Presiden bertemu dengan anak Presiden saja. Akan lebih seimbang kelihatannya.
Yang menjadi luar biasa adalah hasil tulisan rombongan media yang sebagian mengangkat “printil-printil” merk dan harga sepatu si anak Presiden ini.
Saat Kamis ini, media massa begitu menganggap penting berita “printil-printil” tentang harga sepatu Gibran Rakabuming?
Anehnya, tidak ada satu mediapun yang yang mengangkat berita “printil-printil” tentang harga sepatu AHY.
Apakah mentang-mentang AHY itu anak Jendral, jadi wartawan harus mahfum dengan harga sepatu atau baju mahalnya? Apakah penjual (pengusaha) martabak sederhana, yang kebetulan jadi anak Presiden ini tidak boleh memakai sepatu mahal?
Lalu, mengapa sekarang saat Jokowi jadi Presiden, media massa "genit" dengan sibuk mengangkat berita tentang "printil-printil" tersebut kepada publik.
Apakah ibu Iriana memakai tas murahan agar kelihatan miskin dan merakyat? Atau sekalian pake tas kresek saja?
Bukankah Joko Widodo juga seorang pengusaha meubel yang sebelum menjadi Presiden bukanlah seorang yang miskin dan tidak punya apa-apa?
Mengapa dengan kesederhanaan beliau, media massa membidikkan "bantalan-bantalan peluru" yang seolah beliau harus berlagak miskin?
Mungkin media massa malas menceritakan yang lain-lain yang lebih penting dalam pelaksanaan tugasnya sebagai Presiden sehingga lebih "gurih" menyuguhkan berita-berita pincang yang seolah menyudutkan Gibran serta mempertontonkan boroknya dunia jurnalis.
Jika begitu, kenapa berita-berita model begini tidak pernah disajikan pada masa pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY yang menjadi Presiden hingga 2 kali masa jabatan.
Saya tidak pernah mengerti...
Herlina Butar-Butar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H