Mohon tunggu...
Lina Kelana
Lina Kelana Mohon Tunggu... -

Dalam pencarian kepadaNya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Emak, Aku Adalah si Cantik

2 Maret 2010   09:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:39 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sudah sebulan ini tak ku dengar kabar dari kampung. bagaimana kabar emakdan si mamad, tak ku dengar pula cakapnya, di gagang handphoneku yang biasanya selalu berdering setiap tanggal lima di tiap bulan. mungkin mereka terlalu sibuk dengan panen di kampung, mungkin juga kebutuhan mereka tidak sedang diburu waktu. semoga si yoyok, warga desa tetangga di kampungku tak berbuat aneh aneh terhadap mereka.

"tik, kamu tak keluar malam ini?"

"sementara ku ijin dulu ka, aku kurang enak badan, meriang.., bilang ke mami dua hari ini aku ijin".

"cantiik, kau baik baik saja?"

"he hem, aku baik baik saja, aku hanya sedikit pusing"

"OK! akan aku ijinkan. ada pesan lain tik?" tawar reka

"ah, tidak. sampaikan maafku saja ke bos mami"

"baik baik yaa..."

senyum simpul ku berikan sebagai jawaban setuju atas perkataan reka.

Hari ini memang terasa berat, dari pagi langgananku banyak, tak seperti biasanya, mungkin karena ini hari libur atau bagaimana. sangat beragam konsumen yang datang, mulai dari orang biasa sampai orang terkenal atau yang berpangkat besar. seharusnya aku bisa bersyukur atas ramainya pelanggan yang datang, namun sekali lagi, aku harus menghadapi satu posisi dimana aku harus menawar perih hati, berpura pura bersyukur dan bahagia atas ini. untung saja para pelanggan tak begitu menyelidik arti senyum kecilku yang ku berikan pada mereka.

Setahun ku jalani bekerja di bidang ini, kerja yang tak memerlukan pikiran yang jlimet, fasilitias disediakan dengan mudah, yaaah... walaupun harus membayar dengan kreditan dan sedikit senyum, tapi cukup entenglah untuk seorang aku yang hanya lulusan Es De ini. jauh lebih enak dibanding mereka mereka yang harus menempuh bangku kuliah empat tahun untuk bisa berbaju bagus, punya rumah, dan kerja yang bisa ku atur sendiri. hemmmm... cukupmerdeka.

Aku menikmati kerjaku seperti aku menikmati kesakitan emakku yang diseret bapak saat bapak hendak meninggalkan aku, dan emak yang tengah mengandung. bapak adalah buruh bangunan dari pulau seberang. bapak bertemu emak di suatu kedai kopi kala itu. karena seringnya bertemu, membuat bapak jatuh cinta kepada emak. akhirnya bapak menikahi emak sebulan kemudian. hidup emak dan bapak terlihat bahagia, begitu kata orang. sampai akhirnya kontrak kerja bapak berakhir. diketahui pula bahwa bapak bukan lagi laki laki yang hanya beristrikan emak, tapi bapak sebenarnya telah beristri saat menikahi emak. Kami sangat kecewa namun emak tetap dan sangat menyayangi bapak, emak berusaha meyakinkan bapak untuk tetap hidup bersama kami, namun usaha emak sia sia, bapak bersikeras kembali ke tanah asalnya dan meninggalkan emak, aku, dan adik dalam kandungan tanpa bekal apapun untuk hidup kami kemudian, atau sekedar untuk kenang kenangan. bapak terlalu pengecut untuk seorang laki laki. tapi apalah dayaku, aku hanya seorang bocah lima tahun kala itu. hanya bisa menangis dan memanggil manggil emak sewaktu emak bergelayut di kaki bapak yang hendak melangkah ke pintu kereta api.

"akang, lihatlah anakmu ini kang, nasib mereka bagaimana nanti?" ratap emak pada bapak

"alaaaah, sudahlah kau menangis, awak tak bisa terus disini, bagaiman pula istriku disana??"

"bolehlah tengok istri akang disana, tapi cepatlah pulang ke sini kang, anakmu ini belum pernah melihat wajahmu" rayu emak sambil mengusap perutnya yang membesar.

"urus saja tu anak dan orok sampai besar, pastilah dia mengembalikan jasamu kembali kemudian"

"akaaaaaang......" ratap emak dengan tangis memilukan

"ah! sudahlah kau, pergi dan urusi saja warungmu itu. siapa jamin pula tu orok adalah dariku"bentak bapak

seketika, tangis emak terhenti, tangis yang semula mendayu menyayat hati, kini hilang barganti sorot mata tajam yang menakutkan

"lelaki busuk, lelaki laknat!"

"emak????" kataku ternganga

"apa kau bilang?! dasar wanita geblek, pelacur!!" bentak bapak seraya menendang tubuh emak yang masih bergelayut di kaki kiri bapak.

melihat tubuh emak kelabakan tersungkur di lantai peron stasiun itu, aku berlari memeluk emak, kami menangis sejadi jadinya, sementara bapak terus berlalu dengan tanpa beban sedikitpun.

"aaah....." masa lalu yang begitu memilukan. ingin ku hapus saja dari buku ingatanku.

"oucch!" desisiku menahan sakit. seminggu ini sakit itu terasa semakin parah. entahlah, terasa nyeri di dalam. berbagi usaha telah ku lakukan tapi nyeri itu masih nyaman di tempatnya. aku malas pergi ke dokter, pasti akan ditanya macam macam. "ah, males.."

^^^

"tik, ada yang mencarimu" reka kembali lagi setelah beberapa menit yang lalu berpamitan berangkat kerja.

"siapa?? tak kau bilang apa aku sedang cuti?"

"sudah, tapi dia tetap ngeyel. malah tadi dia menemui bos mami langsung dan mengutarakan maksudnya untuk menemuimu langsung di sini"

"ah, dasar orang gendeng!" gerutuku

"kau tahu dia pelangganku?" tanyaku kembali memastikan siapa yang datang

"aku gak tahu tik, tapi sepertinya bukan, dia orang baru"

"sudah kau ceritakan kalau belakangan ini aku sariawan, badanku selalu meriang, dan sering diare? bagaimana aku bisa bekerja??"

"itu dia tik, aku sudah menceritakan bahwa kau sakit, ku bilang ke yang lain saja, e tapi dia ngotot ingin kemari"

"sudahlah, tolong sampaikan sepuluh menit lagi ku temui dia"

segera ku bangkit dari tempat tidur dan bergegas membersihkan diri. usai mandi ku rapikan bajuku dan sedikit parfum agar tak bau kecut karena dua hari aku tak menyentuh air.

Setelah yakin, ku langkahkan kaki ke ruang depan....

"siti..???" sebuah sapaan yang membuatku kaget. nama itu, nama yang membuatku terlempar ke masa lalu, masa memilukan, masa yang menyakitkan emakku.

"maaf, siapa bapak ini?"

"aku ay, yoyok, putra bu imah, tetangga desamu yang punya depot itu"

“kau berbeda ay, makin cantik, makin...wuiiii....suit suiit...” lanjutnya

"yoyok??"tanyaku ragu

Lelaki berperawakan dempal itu menganggukkan kepala mengiyakan pertanyaanku. kemejanya yang licin dan jeans trendy yang dikenakannya tak menunjukkan bahwa dia yoyok, lelaki kampung yang bergulat dengan kerbau dan padi di sawah setiap hari. sepertinya dia sudah tinggal dan sukses di kota jakarta ini.

"darimana kau tahu aku tinggal di sini"

"aku gak tahu cantik itu kau ayu, aku ingin menemui cantik karena yang ku dengar, dia sangat tenar dengan senyum dan pelayanannya yang ramah dan tentu saja mengasyikkan, hehehe" lelaki itu terkekeh.

"trus, jika kau tahu cantik itu aku, apa yang kau mau sekarang dariku?"

"tetap sajalah ay, lakukan tugasmu dengan baik, aku pembeli, dan kau harus melayani tawaranku"

"dengan satu syarat!"

"apa syaratnya?, katakan saja ti"

"jangan bilang aku disini, dan jangan katakan ini pada emak dan mamad di kampung"

"OK, tenang saja ti. hehehe"

"masuklah"

lelaki itu bangkit dan bergegas mengikuti langkahku menuju ruang khusus di pojok rumah ini. ruang ini dirancang khusus oleh bos mami untukku dan reka jika kami sedang malas keluar"

^^^

"aku katakan sebelumnya yok, aku sedang sakit. jadi jangan harap berlebih dari biasanya yang kau jumpa di sana sana"

yoyok tersenyum beringas sambil menerima segelas anggur putih yang ku suguhkan ke dia. Minuman itu selalu kusediakan di atas meja untuk tamu tamu yang datang.

"cepatlah ay, aku sudah tak sabar"

sebenarnya aku muak tiap melakukan ini, tapi apa boleh buat, si Topo bedebah itu menjerumuskan aku ke sini. kepercayaanku akan di salurkan menjadi TKW ke taiwan hanya sebuah bualan dan omong kosong untuk bisa bebas membawaku pergi dari emak. dua minggu aku di tempatkan dikontrakannya, dijanjikannya sang majikan akan memeberitahu jika majikan bilang membutuhkan aku.

Sehari kemudian, sebuah kijang hitam datang, seorang laki laki berdasi dan seorang perempuan cantik keluar dari mobil. terdengar mereka dan topo berbincang kecil di teras rumah. ekspresi mencurigakan sempat ku tangkap dari wajah mereka, namun ku enyahkan saja prasangka bodoh itu dan berpikir itu hanya sebuah dugaan tanpa dasar. lima menit kemudian pak Topo menghampiriku dan berkata

" majikan sudah datang, bersiaplah ti, mereka akan membawamu ke tempat kerjamu"

"benarkah?" tanyaku gembira.

Hari hariku akan menyenangkan tentunya. meski harus keras bekerja, tetapi demi emak dan mamad, aku akan melakukannya dengan senang hati.

namun apalah dikata, taiwan yang dijanjikan hanyalah sebuah janji, taiwan ternyata hanya sebuah tempat kecil di sudut kota. sebuah rumah mewah dengan seorang pembantu dan seorang teman senasib, reka.

"ay??" yoyok mengagetkanku

"OK"

Ku rebut mesra gelas dari tangan yoyok dan ku alihkan ke meja kembali. Dengan pelan tapi pasti, aku mendekat ke tubuh yoyok. jujur, aku mual melihat laki laki ini, tubuhnya penuh dengan panu. tapi apalah beda denganku yang belakangan ini muncul bercak bercak di seluru permukaan kulitku, yang entah apa itu namanya aku tak tahu.

Terlihat matanya hendak meloncat keluar ketika ku tanggalkan baju bajuku satu persatu. ku langkahkan kaki dengan langkah menggoda kepadanya. dia semakin bernafsu, seperti macan yang sudah lima hari tak makan dan bertemu dengn seekor rusa gemuk.Seperti biasanya, ku lalui ini dengan rasa hambar.

Sampai semua adegan mesum terjadi, aku hanya merintih sakit, sakit yang teramat sangat di sudut hatiku, menangis ku di bilik kecil hatiku. tetapi aku harus bisa menutupnya dengan senyuman yang menggoda birahi. agar dia puas, dan aku puas menikmati kebejatanku ini. puas melaknat kenyataan yang memasungku lama di lumpur hidup yang menyesakkan ini.

Kini aku tarbaring lemah setelah seminggu kegiatan busukku dengan yoyok hidung belang itu. berat badanku semakin menurun, tubuhku selalu berkeringat tanpa sebab, kulitku melepuh seperti tersiram larutan kimia, nafasku sesak, dan selalu gatal yang amat sangat di dekat selakanganku. emak, mamad, andai kalian seminggu sekali bersedia menjengukku, andai yoyok bajingan itu tak berkata apapun, mungkin saat ini aku tengah dirawat dengan kasih sayang yang tulus.

Setiap hari silih berganti perawat masuk dan keluar, membawa obat dan menyuntikku dengan sangat rajin. wajahku makin memucatjauh dari namaku sebelumnya, cantik. dokter mendiagnosa AIDS telah memeluk rekat tubuhku. dia baru akan melepasku, jika aku membayarnya dengan nyawa. dan aku tak punya harta lain untuk menebusnya. emak, salahkah aku jika hidupku seperti ini? salahkah aku jika meninggalkan Tuhan yang tak pernah baik kepadaku?? emak, jika telah sampai aku di hadapan Tuhan, akan ku protes nasib yang menimpa kita, dan akan ku demoDia,jika Dia tetap bersikeras menelantarkanmu serta melemparmu dan mamad dalam kemiskinan dan keterpurukan nasib. bersabarlah mak, aku hanya menunggu waktu untuk tiba di rumah tuhan dan menuntut keadilan dariNya.Emak..... aku adalah ayu, si cantik kecilmu yang tak lagi cantik. Maafkan aku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun