NEGERI BUMI
hanya sebuah negeri
tak lebih dari sekedar nama berbendera yang dijadikan pusaka
diteriakan dan dinyanyikan sebagai keagungan-keagungan sekelompok manusia
hingga tonggak-tonggak kayu matipun; di tancapkan sebagai pembatasnya
sepetak tanah dibatasi benteng-benteng bata dada
disuburkan dengan darah dan peluh tangis perasan mata
hanya untuk sebuah negeri
dan aku bertanya; di negeri siapakah aku berada
sekelompok singa dan buaya mendekam
bersembunyi di semak-semak dan perairan
menatap babi hutan, bayi-bayi kijang,
dan anak-anak menjangan dengan mata yang telanjang
mungkinkah aku berada di negeri para binatang?
hanya untuk sebuah negeri
berpuluh -puluh puisi dijatuhkan
beratus ribu tangan dikepalkan, dihantamkan ke meja-meja peradaban
padahal;
hanya untuk sebuah negeri
sorak sorai dan tepuk tangan dijadikan kebanggaan
kekalahan dan kemenangan dijadikan lencana kehidupan
diarak arai, disorak sorai
padahal;
hanya untuk sebuah negeri
negeri siapakah bumi sekarang
(Aras Sandi)
YANGBERHASRATMEMINANGMU: KEKASIHKU
kaubaginyahawa, yangsuatuhariakan menemaninyamenguaskansurgasehabis bertahun-tahun menelan buah pir yang mahirberpura-pura. maka ia liurkantetes pahala,lamasembunyi dan endap di lidah palingatap. ia barangkali anak seoarangulama yangrajin memintukan tiap pinta dan menyeretlenguhdoa ke tengahdada. tapiiataktahu, lubanghatimu,terlanjurpenuh berisi aku. cintamukepada aku, mengirimnya ke luka paling neraka.
kemudiandatanglengan berseragamrapi, abdinegara, berlumurminyakwangi, yang didulang dari keringatrakyatsendiri. sungguh ia pandai, seumpamakau pohon kapasia gesittupai, iamenumbangkan seisi ladang, juga lunasperabotan.agarengkaumenjadicerminyangleluasa berdandan.tapibagaimanabisa, biladalam tiap kedipmu, selalu tumbuh silau wajahku.cintamu kepadaaku, adalah dahan raksasa yangmenjatuhkan keasyikan bermainyameloncat-loncatsepanjangparibahasa.
iamengaku pernah terkenalsaat datangkepadaengkau,sebagaipemusik,pengrajinsuara,
lalukaudimasukkankedalamrencanabesarnya,menghabiskandunia, berdua.iamerayumudengangula-gula danlagu-lagu. kau cuma tersenyum, membiarkanyagiladalamkegagalan. kauasyik berbicarasendiri, tiapnada yangkeluardaribibirmu adalahpanjangnadi darahku. cintamukepadaaku, membuat seluruhlagunya dihantui lolongpanjangserigalaterjerat tanggallimabelas purnama.
(Arif Fitra Kurniawan)
AKU TAKUT MATI
Di matamu Ibu, kutitipkan kunci pintu mimpiku
Aku menunda hadir dalam ruang gelap itu
Tahukah kau, Ibu, bayangku di sana adalah arang
Dan sekujur tubuhku harum kamboja
Esok yang kujelang adalah kisah yang terpisah, Ibu
Aku tak mungkin lagi berlari jauh sejauh doamu
Asaku acapkali runtuh di batas malam
Jalan hidupku sering buntu di ambang fajar
O, akankah jiwaku sekarat di pojok mimpi ?
Seperti halnya sepeda tuaku yang karatan oleh sepi,
Karena tak pernah lagi terkayuh setelah patah setir
Di matamu Ibu, kutitipkan kunci pintu mimpiku
Tak mengapa andai hilang ditelan hitam bola matamu,
Biar tak lagi kutemui kematian di ruang gelap itu.
Gorontalo, 28072010
(Arther Panther Olii)
KISAH KURSI DAN MEJA
Di kafe,
Kursi-kursi sibuk berkiblat ke meja
kaki mereka saling tersenyum
dan berkata:
kita masih saling setia
bersama menghitung suara kaki yang
berebutan mengejar tik tak
ketika rasa sesungguh cinta
menyemat hangat di atma
bahkan ketika kadang kita ditukar oleh pongah tuan
kursi jadi meja dan meja jadi kursi
O, betapa kita bisa mengisi dan memahami
mungkin tersebab sembab di mata nona
di luar, dari sebalik tengok jendela
hujan sibuk bercerita segala kenang
sejak kelahiran selalu menjadi awal
dan kematian (kelak) adalah akhir
(Dalasari Pera)
DARAHMU ATAU DARAHKU
Darah siapakah yang mengering di wilah keris tuan
Itukah darah Akuwu yang kautikam saat malam
Atau justru itu darah sang Empu.
Si pembuat sejarah senjata di negerimu.
Harusnya usah kubertanya jika kutahu pada saatnya
Darah akan kembali mengaliri lembar-lembar sejarah
Sejak masa dluwang dari kulit hewan hingga daun-daun lontar
Atau bahkan hingga nanti saat kertas tak lagi dibutuhkan
Pada satu ketika, memang
Darah tak hanya mengalir di wilah-wilah keris
Tetapi juga pada sungai-sungai, tubuh-tubuh bukit
Pun sabana dan sumber air kita.
Maka benar kata Tuan
Usah peduli darah siapa yang tumpah malam ini
Karena bukannya tak mungkin
Esok diantara kita akan saling menikam dada.
(Oekusi Arifien Siswanto)
Testimoni :
1) Acep Zam Zam Noor, Penyair dan Budayawan
SEBAGAI sebuah tradisi yang panjang, puisi akan terus ditulis orang dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman. Terbitnya antologi ini menjadi salah satu bukti bahwa keberadaan puisi sebagai media ekspresi tidak akan pernah mati. Meski kerap dipinggirkan dan dilecehkan, puisi tetap akan mempunyai tempat tersendiri dalam kehidupan kita sebagai manusia, juga tetap akan mempunyai fungsi tersendiri bagi perjalanan kita sebagai bangsa. 2) Beni Setia, Sastrawan
SEPULUH penyair dalam antoloji ini mengharapkan semua pembaca puisi datang tanpa prasangka apa-apa. Biarkan kemurnian dan ketulusan berpuisi dalam puisi itu diapresiasi oleh kemurnian dan ketulusan membaca puisi.
Selebihnya, saya menyerahkan semua puisi ini pada pembaca yang tulus menghargai kemurnian puisi dan ketulusan berpuisi. Satu tuntutan yang tidak mengada-ngada, karena membaca dengan membawa perangkat teori sastra atau harapan akan adanya pembaruan dari puisi yang dipublikasikan merupakan penghakiman yang diskrimatif pada satu corak estetika dan ekspresi yang tak sesuai dengan kerangka referensi tertentu.
Selamat membaca--sekaligus semoga semangat menulis puisi dari sepuluh penyair di dalam antoloji ini tak pernah padam, dan dengan semangat berekspresi itu mereka ikut memperkaya khazanah puisi Indonesia--! Semoga.
3) Hanna Fransisca, penyair dan prosais
MEMBACA kumpulan puisi “Sepuluh Kelok di Mouseland”, seperti mendengar suara dari berbagai sudut Indonesia. Antologi ini menawarkan nikmatnya menghayati perbedaan dalam sebuah ruang yang bernama puisi.
[caption id="attachment_153299" align="aligncenter" width="636" caption="sEPULUH KELOK DI MOUSELAND"][/caption]
Judul:Sepuluh Kelok Di Mouseland
Penulis:Aras sandi, Dalasari Pera, dkk
Kurator:Timur Budi Raja
Penerbit:Kendi Aksara, Yogyakarta – Jawa Tengah
Cetakan: I, Oktober 2011
Tebal buku :109 halaman
Harga: Rp. 30.000
Kontak:lina_kelana@yahoo.com, atau kirim pesan via inbok FB Lina Kelana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H