Mohon tunggu...
Lina Kelana
Lina Kelana Mohon Tunggu... -

Dalam pencarian kepadaNya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(Poli) Tikus di Negeri Resah

4 Januari 2012   16:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:20 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

NEGERI BUMI

hanya sebuah negeri

tak lebih dari sekedar nama berbendera yang dijadikan pusaka

diteriakan dan dinyanyikan sebagai keagungan-keagungan sekelompok manusia

hingga tonggak-tonggak kayu matipun; di tancapkan sebagai pembatasnya

sepetak tanah dibatasi benteng-benteng bata dada

disuburkan dengan darah dan peluh tangis perasan mata

hanya untuk sebuah negeri

dan aku bertanya; di negeri siapakah aku berada

sekelompok singa dan buaya mendekam

bersembunyi di semak-semak dan perairan

menatap babi hutan, bayi-bayi kijang,

dan anak-anak menjangan dengan mata yang telanjang

mungkinkah aku berada di negeri para binatang?

hanya untuk sebuah negeri

berpuluh -puluh puisi dijatuhkan

beratus ribu tangan dikepalkan, dihantamkan ke meja-meja peradaban

padahal;

hanya untuk sebuah negeri

sorak sorai dan tepuk tangan dijadikan kebanggaan

kekalahan dan kemenangan dijadikan lencana kehidupan

diarak arai, disorak sorai

padahal;

hanya untuk sebuah negeri

negeri siapakah bumi sekarang

(Aras Sandi)

YANGBERHASRATMEMINANGMU: KEKASIHKU

kaubaginyahawa, yangsuatuhariakan menemaninyamenguaskansurgasehabis bertahun-tahun menelan buah pir yang mahirberpura-pura. maka ia liurkantetes pahala,lamasembunyi dan endap di lidah palingatap. ia barangkali anak seoarangulama yangrajin memintukan tiap pinta dan menyeretlenguhdoa ke tengahdada. tapiiataktahu, lubanghatimu,terlanjurpenuh berisi aku. cintamukepada aku, mengirimnya ke luka paling neraka.

kemudiandatanglengan berseragamrapi, abdinegara, berlumurminyakwangi, yang didulang dari keringatrakyatsendiri. sungguh ia pandai, seumpamakau pohon kapasia gesittupai, iamenumbangkan seisi ladang, juga lunasperabotan.agarengkaumenjadicerminyangleluasa berdandan.tapibagaimanabisa, biladalam tiap kedipmu, selalu tumbuh silau wajahku.cintamu kepadaaku, adalah dahan raksasa yangmenjatuhkan keasyikan bermainyameloncat-loncatsepanjangparibahasa.

iamengaku pernah terkenalsaat datangkepadaengkau,sebagaipemusik,pengrajinsuara,

lalukaudimasukkankedalamrencanabesarnya,menghabiskandunia, berdua.iamerayumudengangula-gula danlagu-lagu. kau cuma tersenyum, membiarkanyagiladalamkegagalan. kauasyik berbicarasendiri, tiapnada yangkeluardaribibirmu adalahpanjangnadi darahku. cintamukepadaaku, membuat seluruhlagunya dihantui lolongpanjangserigalaterjerat tanggallimabelas purnama.

(Arif Fitra Kurniawan)

AKU TAKUT MATI

Di matamu Ibu, kutitipkan kunci pintu mimpiku

Aku menunda hadir dalam ruang gelap itu

Tahukah kau, Ibu, bayangku di sana adalah arang

Dan sekujur tubuhku harum kamboja

Esok yang kujelang adalah kisah yang terpisah, Ibu

Aku tak mungkin lagi berlari jauh sejauh doamu

Asaku acapkali runtuh di batas malam

Jalan hidupku sering buntu di ambang fajar

O, akankah jiwaku sekarat di pojok mimpi ?

Seperti halnya sepeda tuaku yang karatan oleh sepi,

Karena tak pernah lagi terkayuh setelah patah setir

Di matamu Ibu, kutitipkan kunci pintu mimpiku

Tak mengapa andai hilang ditelan hitam bola matamu,

Biar tak lagi kutemui kematian di ruang gelap itu.

Gorontalo, 28072010

(Arther Panther Olii)

KISAH KURSI DAN MEJA

Di kafe,

Kursi-kursi sibuk berkiblat ke meja

kaki mereka saling tersenyum

dan berkata:

kita masih saling setia

bersama menghitung suara kaki yang

berebutan mengejar tik tak

ketika rasa sesungguh cinta

menyemat hangat di atma

bahkan ketika kadang kita ditukar oleh pongah tuan

kursi jadi meja dan meja jadi kursi

O, betapa kita bisa mengisi dan memahami

mungkin tersebab sembab di mata nona

di luar, dari sebalik tengok jendela

hujan sibuk bercerita segala kenang

sejak kelahiran selalu menjadi awal

dan kematian (kelak) adalah akhir

(Dalasari Pera)

DARAHMU ATAU DARAHKU

Darah siapakah yang mengering di wilah keris tuan

Itukah darah Akuwu yang kautikam saat malam

Atau justru itu darah sang Empu.

Si pembuat sejarah senjata di negerimu.

Harusnya usah kubertanya jika kutahu pada saatnya

Darah akan kembali mengaliri lembar-lembar sejarah

Sejak masa dluwang dari kulit hewan hingga daun-daun lontar

Atau bahkan hingga nanti saat kertas tak lagi dibutuhkan

Pada satu ketika, memang

Darah tak hanya mengalir di wilah-wilah keris

Tetapi juga pada sungai-sungai, tubuh-tubuh bukit

Pun sabana dan sumber air kita.

Maka benar kata Tuan

Usah peduli darah siapa yang tumpah malam ini

Karena bukannya tak mungkin

Esok diantara kita akan saling menikam dada.

(Oekusi Arifien Siswanto)

Testimoni :

1) Acep Zam Zam Noor, Penyair dan Budayawan

SEBAGAI sebuah tradisi yang panjang, puisi akan terus ditulis orang dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman. Terbitnya antologi ini menjadi salah satu bukti bahwa keberadaan puisi sebagai media ekspresi tidak akan pernah mati. Meski kerap dipinggirkan dan dilecehkan, puisi tetap akan mempunyai tempat tersendiri dalam kehidupan kita sebagai manusia, juga tetap akan mempunyai fungsi tersendiri bagi perjalanan kita sebagai bangsa. 2) Beni Setia, Sastrawan

SEPULUH penyair dalam antoloji ini mengharapkan semua pembaca puisi datang tanpa prasangka apa-apa. Biarkan kemurnian dan ketulusan berpuisi dalam puisi itu diapresiasi oleh kemurnian dan ketulusan membaca puisi.

Selebihnya, saya menyerahkan semua puisi ini pada pembaca yang tulus menghargai kemurnian puisi dan ketulusan berpuisi. Satu tuntutan yang tidak mengada-ngada, karena membaca dengan membawa perangkat teori sastra atau harapan akan adanya pembaruan dari puisi yang dipublikasikan merupakan penghakiman yang diskrimatif pada satu corak estetika dan ekspresi yang tak sesuai dengan kerangka referensi tertentu.

Selamat membaca--sekaligus semoga semangat menulis puisi dari sepuluh penyair di dalam antoloji ini tak pernah padam, dan dengan semangat berekspresi itu mereka ikut memperkaya khazanah puisi Indonesia--! Semoga.

3) Hanna Fransisca, penyair dan prosais

MEMBACA kumpulan puisi “Sepuluh Kelok di Mouseland”, seperti mendengar suara dari berbagai sudut Indonesia. Antologi ini menawarkan nikmatnya menghayati perbedaan dalam sebuah ruang yang bernama puisi.

[caption id="attachment_153299" align="aligncenter" width="636" caption="sEPULUH KELOK DI MOUSELAND"][/caption]

Judul:Sepuluh Kelok Di Mouseland

Penulis:Aras sandi, Dalasari Pera, dkk

Kurator:Timur Budi Raja

Penerbit:Kendi Aksara, Yogyakarta – Jawa Tengah

Cetakan: I, Oktober 2011

Tebal buku :109 halaman

Harga: Rp. 30.000

Kontak:lina_kelana@yahoo.com, atau kirim pesan via inbok FB Lina Kelana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun