Mohon tunggu...
Lina Hasna
Lina Hasna Mohon Tunggu... -

hakuna matata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki virtual di dunia khayal

27 September 2013   22:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:18 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13802987931845308655

Semarang, 28 April 2008, Aku tak hendak menyalahkan takdir yang telah mempertemukan cinta kami. Aku tak hendak membangkang takdir Tuhan yang telah menggariskan cinta kami. Permasalahannya adalah, Tuhan hanya membiarkan cinta kami yang bertemu, karena faktanya kami belum pernah bertemu sekalipun. Aku tak tahu bagaimana bisa cinta yang telah kami perjuangkan ini melampaui tiga tahun. Ya, masa tiga tahun ini adalah waktu yang kami perjuangkan untuk menjaga cinta ini. Sekali lagi ini adalah permasalahan Tuhan (selaku pembuat takdir) dan saya (selaku penerima takdir). Takdir telah menggariskannya untuk kami. Dan mau tidak mau saya harus menerimanya. Dan kemudian hadirlah jarak yang merupakan pemisah ujian untuk kami. Jarak telah membentangkan samudra Atlantik dan Laut Merah. Hanya laut sebenarnya yang menjadi pemisah jarak antara kami. Kau tahu kawan, laut itu hanya dibatasi garis tipis yang bernama cakrawala dan hanya karena takdir kami tidak dapat dipertemukan. Hanya karena takdir aku harus menunggu dia. Menunggu jarak yang mungkin tak lagi menjadi pemisah untuk kami. Menunggu takdir untuk benar-benar mempertemukan kami. Karena bahkah hidup tak memberiku banyak pilihan selain menunggu dia. Kau tahu kawan, Rindu adalah satu-satunya kemewahan yang aku miliki. Adalah pada angin kutitipkan puisi yang tiap lariknya terdapat pongahanku-tentang ruang tanpa jeda dalam rindu yang tersandra. Rindu telah sedemikian rupa menyumsum hingga ketulang. Dan aku tak mampu menegasikan lagi, selama tiga tahun aku hanya mampu menyimpan rindu ini. Tak ayal, rinduku terkadang melebam hingga aku merasakan luka yang tak terhingga. Kemudian dalam ketidakberdayaanku akan rindu yang semakin pilu, air mata hadir menemaniku. Hanya air mata. Bukan kehadirannya. Berawal dari dunia virtual aku mengenal dia. Lelaki virtual yang hanya ada di jejaring sosial. Perjumpaan sesaat yang menyekat diantara kita menghadirkan getar yang kian menggelora. Perjumpaan kata-kata yang sederhana membuatku semakin menginginkan hadirnya. Namun, dalam tiga tahun ini aku hanya mampu bersosial media tanpa pernah tau bagaimana juntrungannya. Dan itulah perlakuan takdir kepada kami. Begitulah cinta kawan, beginilah kami. Begitulah takdir yang selalu menguji cinta kami. Oh iya, namaku Malika, dan lelaki virtual itu adalah Akbar. Kita memang berbeda dalam segalanya kecuali dalam cinta. Dan di ruang tanpa kata, kesetiaan itu tetap terjaga. Menunggu datangnya masa saat perjamuan mencetak nyata. Kami saling bertemu, saling tatap dan saling cinta tanpa prasangka. Semarang, 15 Oktober 2011, Hari itu tiba. Hari dimana aku bisa bercengkerama dengannya. Hari dimana aku bisa menyentuhnya. Hari dimana aku tak butuh lagi jejaring sosial ataupun telpon seluler. Hari dimana aku bertemu bertemu dia pertama kali setelah 3 tahun lebih hanya melihatnya di webcam dan skype. Kau tahu betapa bahagianya aku kawan, ketika aku bisa benar-benar mendengar suara tanpa alat bantu headphone. Kau tahu betapa bahagianya aku kawan ketika aku benar-benar melihat wajahnya tanpa terhalang layar PC. Kau tahu betapa bahagianya aku kawan ketika aku benar-benar menyentuh tangannya dan merasakan wangi tubuhnya. Ah, kau tak akan pernah tahu sepertinya. Kita bertemu pada sore yang teduh dan dalam beberapa menit kemudian senja merayap syahdu. Aku sempat tak yakin apakah dia mengenaliku. Aku memang ragu apakah waktu 3 tahun belum cukup untuk dia mengenaliku. Akupun sama, apakah lamanya waktu itu bisa menjamin semuanya? Barangkali waktu hanya sekedar kalkulasi kosong untuk memberikan sebuah jeda. Dan kita hanya bertemu dalam waktu 3 hari. Setelah 3 tahun lebih aku menunggunya. Tiga hari bukanlah waktu yang lama tentunya. Ya, Apakah waktu itu bisa menjamin semuanya? Dan pembicaraanpun dimulai. Dia bertanya-tanya apakah aku mencintainya seperti dia mencintaiku, padahal aku tak menahu bagaimana cara dia mencintaiku. Saat itu aku hanya bilang bahwa aku akan selalu menunggunya sampai kapanpun. Entah kekuatan apa yang menyebabkan aku sanggup mengatakan kalimat itu. Konyol memang. Aku telah 3 tahun menunggu dia, dan aku berkata padanya bahwa aku masih sanggup untuk menunggu lagi sampai kapanpun. Inilah cinta kawan, beginilah saya, begitulah dia. Dan pada akhir perjumpaan kami di sebuah pagi pasi dengan gerimis yang tak kunjung henti, dia pun harus pergi. Dia kembali ke rumahnya. Dan entah mengapa aku merasa bahwa dia akan benar-benar pergi selamanya. Dia berjanji kepadaku untuk bertemu lagi. Dia berjanji kepadaku untuk bercengkerama lagi. Dia berjanji kepadaku untuk melihat senja di sebuah pantai dengan semburat jingga yang merona. Ya, yang dia berikan kepadaku hanya janji. Dan kau tahu kawan, aku melumat janji itu tanpa basa-basi. Selang beberapa minggu kemudian dia mengirimkan pesan kepadaku:

“Tuhan telah mengatur jodoh kita dan aku tak hendak pusing lagi dengan aturan Tuhan. Yang pasti saat ini aku hanya ingin fokus mempersiapkan masa depan”

Aku membalas pesan itu dengan getir:

“Terimakasih telah menjadi orang yang membuat aku selalu ingin menunggu. Semoga kau mampu meraih cita-citamu”

Kemudian hujan luruh. Hujan dari langit sama derasnya dengan hujan dari mata ini. Mendung sudah terlalu lama meronta, petir sudah terlalu lama membuatku getir. Maka air mata itupun tumpah menderai hati yang telah patah. Hingga hujan dan air mata terhenti yang tersisa hanya air yang menggenang dan kenangan yang sedemikian nyalang. Benar kawan, waktu memang tak bisa menjamin segalanya. 3 tahun sekian bulan itu tak mampu berbuat banyak untuk memperjuangkan hubungan kita. Tak ada yang patut disesali. Aku hanya perlu belajar untuk tidak membuang waktuku lagi. Aku yakin jika ada orang yang mau membeli waktuku yang selama 3 tahun lebih telah terbuang sia-sia, pastilah aku akan menjadi seorang kaya raya. Sepertinya aku baru saja dibangunkan dari mimpi panjang indah tidurku. Ya hanya mimpi ternyata. Dan sesempurna apapun mimpi itu aku tak akan mampu memindainya menjadi nyata. Bukan karena aku wanita dan aku terlalu lemah untuk memindainya. Bukan juga karena lelaki dalam mimpiku yang begitu sempurna hingga aku tak mampu menyentuhnya. Ini hanya sebuah mimpi kawan. Aku tak ingin terlalu banyak lagi merepotkan Tuhan dengan mengharap permintaan konyol untuk memindai mimpi ini di dunia nyata. Walaupun barangkali Tuhan sudi untuk mempertimbangkan permintaanku. Ah, sudahlah kawan, ini hanya mimpi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun