Mohon tunggu...
linako febrianti
linako febrianti Mohon Tunggu... lainnya -

simple, rasional.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Andai Ada Pilihan Pemimpin Alternatif

19 Juni 2014   09:10 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:10 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“ Meski tak satupun dari mereka adalah pilihan, namun pada akhirnya kita tetap saja harus memilih salah satunya”

Pemilu presiden tahun ini adalah merupakan pemilu kedua saya untuk menggunakan hak pilih. Jika tahun 2009 saya begitu antusias untuk menggunakan hak sebagai warga negara yang telah diakui logika berpikirnya. Namun berbeda dengan kesempatan kedua ini, semua terasa menjemukan dan memprihatinkan. Demokrasi seolah berubah menjadi panggung kebrutalan tanpa kesantunan. Meski saya juga tidak yakin demokrasi yang santun akan bisa terwujud dalam negara yang baru belajar berdemokrasi atau di negara tempat lahirnya demokrasi sekalipun.

Jika saat hasil pemilu legislatif keluar, baik berdasarkan hasil hitung cepat lembaga-lembaga survey, maupun saat hasil resmi yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepertinya pemilu presiden akan lebih menarik. Saat tidak ada satupun partai yang menang mutlak dan bisa melenggang ke pemilu presiden tanpa koalisi seperti ada angin segar bahwa akan ada banyak pilihan. Apalagi saat sebaran perolehan suara partai-partai tengah nyaris merata, ini menambah harapan akan ada alternatif pilihan.

Harapan akan ada pilihan pemimpin alternatif buyar saat tak ada satupun petinggi partai yang berani keluar dari logika berpikir pragmatis. Semuanya berlomba-lomba mencari kawan dengan deal-deal di bawah meja. Katanya sih tanpa syarat, tapi apa iya masih ada cinta tak bersyarat dalam politik? Saya sih ragu dan semakin ragu lagi saat semua mulai berkicau dengan segala argumennya.

Hari ini sampailah pada kondisi bahwa memang hanya ada dua pilihan untuk calon presiden kita periode lima tahun ke depan ini. Meski sebenarnya mereka bukan pilihan, namun pada akhirnya tetap saja harus memilih salah satu dari mereka. Sadar akan hal itu mencari informasi dan menganalisinya tentu menjadi pekerjaan rumah yang harus bisa di selesaikan sebelum 9 Juli ini. Tapi permasalahannya adalah terlalu banyak informasi yang berseliweran yang kadang membuat enek dan pengen muntah. Bagaimana tidak, dari seribu informasi yang beredar ada sekitar sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh adalah informasi mengenai keburukan masing-masing calon yang diumbar entah oleh simpatisan salah satu atau juga bisa oleh orang yang mungkin saja berniat mengadu.

Hanya sedikit dari informasi yang beredar yang memberi kit informasi visi-misi dan rencana kerja masing-masing calon. Para simpatisan dan juru kampanye masing-masing calon sepertinya terlalu asyik mencari keburukan lawan, sehingga hampir lupa memperkenalkan calonnya secara detail. Seorang kawan berpendapat, ada baiknya juga informasi buruk mengenai kedua calon beredar secara luas, paling tidak akan memberi gambaran tentang siapa sebenarnya yang paing buruk.

Menjadi lucu rasanya bahwa lebih banyak hal buruk mengenai calon pemimpin kita yang diumbar dari pada hal baiknya. Dan menggelikan juga jika kita hanya memperdebatkan hal-hal yang hanya akan membuat kita menjadi tersekat-sekat. Secara pribadi hal yang sangat memprihatinkan saya dari semua isu yang diumbar mengenai kedua calon adalah mengenai isu agama dan kepercayaan. Bukankah agama adalah hubungan vertikal yang bersifat pribadi bukan ranah publik yang harus diurus oleh banyak orang. Kekhawatiran terbesar saya adalah akan ada yang terluka dan tersudut saat agama diperdebatkan. Bukankah syarat menjadi presiden Indonesia yang paling mutlak adalah warga negara Indonesia, tak ada batasan untuk agamanya. Meski saat ini isu agama ini sudah mulai padam, semoga saja yang diadu adalah rencana dan gagasan bukan isu SARA ataupun hal lain yang tidak lebih penting dari tujuan untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang berdaulat dan menjadi Indonesia seutuhnya.

Meski demikian sampai detik ini masih saja ada penyesalan dan pernyataan ANDAI SAJA ADA PILIHAN ALTERNATIF!!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun