Mohon tunggu...
Lina Lidia
Lina Lidia Mohon Tunggu... -

Love books (reading, writing, story telling) and try to be a good writer...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Ibu, Engkaulah Penggenggam Surga

23 Desember 2013   14:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nomor peserta : 455

Kulitmu hitam legam, efek terbakar mentari sepanjang hari. Tanganmu kasar erbagai pekerjaan. Rambutmu terikat sederhana. Namun, bagiku engkau tetaplah bidadari, Ibu. Senyummu bercahaya seindah permata. Senyum yang penuh ketulusan, kasih sayang dan cinta suci. Tatap matamu menyejukkan. Genggaman jemari dan pelukanmu selembut sutera dan menentramkan. Seakan mampu menghancurkan setiap gundah, menghalau segala masalah dan mengusir semua lelah.

Apalagi yang bisa kutuliskan, Ibu? Seakan semua kata dan bahasa tak akan mampu menggambarkan betapa hebat dan mengagumkannya dirimu. Kata-kata pun karena tak memiliki kosakata yang memadai untuk menggambarkan kemulianmu. Pantaslah bila Allah Swt meletakkan surga di telapak kakimu.

Ibu, dulu engkau adalah seorang perempuan yang hidup cukup dan selalu dilayani pembantu. Tapi kini? Semua pekerjaan, engkau kerjakan sendiri. Termasuk mencari nafkah, menjemur diri di bawah terik mentari untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan anak-anaknya.

Ya, itulah dirimu, Ibu. Perempuan yang menanggalkan semua kesenangan hidupnya dan setia mendampingi suami yang kini harus lebih banyak istirahat daripada bekerja. Dulu, ketika bapak masih bekerja dan punya penghasilan yang cukup, Ibu hidup berkecukupan dan santai. Jarang melakukan pekerjaan karena dilayani seorang pembantu. Tubuh yang dihiasi oleh make up dan perhiasan emas yang berkilauan. Kini? Semua perhiasan itu telah engkau serahkan ke toko emas. Semua make up telah engkau tanggalkan berganti dengan kulit menghitam yang semakin legam. Hanya air wudhu yang masih menjadi make up sejatimu hingga kini.

Ibu, aku tidak tahu berapa banyak perempuan di luar sana yang memiliki ketangguhan sepertimu. Ibu rela bersusah payah hidup di kampung, menjadi petani setiap hari. Ibu yang selalu mengawali hari dengan bangun jam 3 dini hari untuk sholat dan menyiapkan sarapan kami. Melanjutkannya dengan sholat subuh dan pergi mencuci. Lalu pulang menyiapkan sarapan dan bekal untuk anak-anakmu hingga melepasnya pergi ke sekolah. Setelahnya, engkau habiskan harimu dengan semua hiruk pikuk pekerjaan ladang dan mengurus ternak. Sore harinya, engkau masih berkutat dengan dapur untuk mempersiapkan makan malam keluarga sementara anak-anakmu pergi mengaji ke masjid. Malamnya pun, engkau masih sibuk membersihkan rumah dan merapikan semua hal saat anak-anakmu sibuk dengan pekerjaan rumah mereka. Lalu kapan istirahatmu, Ibu? Jarang kumelihat Ibu tidur atau tertidur. Saat aku beranjak tidur pun masih saja ada kegiatanmu.

Sejak bapak sakit dan harus dua kali menjalani operasi ginjal, Ibu memang mengambil semua tanggung jawabnya. Lebih banyak bekerja mencari nafkah daripada yang bapak bisa lakukan setelahnya. Sejak operasi, dokter sudah mengingatkan bapak untuk tidak terlalu capek karena akan berakibat buruk pada kesehatannya. Sejak saat itu pula, sebagai wujud baktimu terhadap suami, engkau bersiap mengambil alih pekerjaannya. Tanggung jawab yang tidak semua istri sanggup mengembannya dan rela menjalankannya dengan sukarela.

Setelah bapak putuskan untuk pulang kampung, engkau pun siap menanggalkan kehidupanmu yang nyaman selama ini. Engkau rela menghabiskan waktumu untuk mengurus semua pekerjaan dan kebutuhan keluarga.

Masih kuingat jelas saat liburan sekolah dan aku ikut ke ladang bersamamu memanen kedelai. Ibu memberiku satu ikatan yang kecil untuk kubawa. Katamu saat itu, “ini tidak akan berat untukmu. Kamu masih muda, tidak baik membawa beban yang terlalu berat. Tidak baik nanti tulangmu.”

Sementara itu, engkau mengangkat dua ikat yang lebih besar dan lebih berat untuk dibawa. Alasanmu saat itu sederhana, “karena ibu sudah biasa melakukannya. Jadi ini tidak lagi terasa berat.”

Saat itu, aku berpikir bagaimana Ibu melakukannya? Mengangkat beban seberat itu pada tubuh kurusmu? Baru kusadari ternyata kekuatanmu melebihi ukuran tubuhmu. Terbukti tubuh kurus itu mampu membawa beban seberat itu tidak hanya sekali dalam sehari. Terkadang engkau mengulangnya hingga tiga sampai empat kali sehari saking banyaknya kedelai yang dipanen dan harus dibawa ke rumah. Ibu melakukan semua itu tanpa sedikit pun keluh. Senyum selalu tersungging di wajahnya.

“Untungnya sudah selesai diangkut semua ke rumah. Besok bisa gantian memanen kacangnya,” ucapmu ringan.

Begitukah setiap hari yang engkau lakukan, duhai Ibu? Saat kami, anak-anakmu, pergi ke sekolah? Ibu selalu menghabiskan waktu dengan seabreg pekerjaan yang melelahkan dan menguras energi. Tapi apa yang Ibu selalu katakan padaku?

“Belajarlah yang rajin, Nak. Kelak, sekolahlah setinggi mungkin. Jadilah orang yang lebih baik daripada ibu dan bapakmu. Milikilah hidup yang lebih baik dari kami.”

Tak jarang, engkau pun mengulang nasehat ini.

“Kami hanya orang tua yang tidak terlalu berpendidikan. Bapakmu lulusan SMA. Ibu malah hanya lulus SD. Tapi kamu, Nak, harus sekolah setinggi-tingginya. Kami sebagai orang tua tak bisa memberimu bekal harta yang banyak. Tapi dengan ilmu yang kamu miliki, Nak, kelak akan mendatangkan rejeki yang jauh lebih banyak daripada harta yang mungkin mampu kami berikan untukmu saat ini. Hanya itu yang bisa kami berikan padamu. Maafkan kami ya, Nak.”

Itu pulalah yang selalu menjadi alasan Ibu mendorongku untuk melanjutkan pendidikan sampai kuliah. Pernah suatu ketika aku menyampaikan keinginanku untuk masuk ke SMK, bukan SMA, agar tidak perlu kuliah dan bisa langsung bekerja. Tapi apa katamu waktu itu, Bu?

“Kenapa tidak mau kuliah nanti? Padahal ibu tahu kamu suka belajar. Kamu punya kemampuan otak untuk kuliah. Kenapa malah milih SMK dan ingin cepat bekerja? Mau kerja apa kalau hanya dengan ijazah SMK? Lihatlah saudara-saudara bapak, mereka lulus SMK. Sekarang apa kerjanya? Jadi buruh pabrik, kan? Apa kamu mau hidup seperti itu? Bukankah kamu pernah bilang ingin menjadi dokter ahli bedah jantung atau ahli syaraf? Bukankah kamu ingin banyak menolong orang? Kalau kamu ambil SMK saja apa kamu bisa mewujudkan semua mimpimu? Tidak, bukan?”

Dan ketika kusinggung tentang besarnya biaya untuk kuliah dan sebagainya, jawabmu tegas, “bapak dan ibu tidak pernah setengah-setengah membiayai sekolahmu selama kamu sungguh-sungguh. Laa haula walaa quwata illa billah. Itu semboyan kami. Ketika kami tidak mampu, Allah Swt yang akan memampukan dengan kekuasaan-Nya. Kalau kami tidak punya uang, masih bisa jual apa yang dimiliki. Masih ada sapi dan kambing. Kalau tidak cukup, masih ada beberapa pohon jati. Jika tetap tak cukup juga, masih bisa jual tanah. Toh, harta juga gak akan dibawa mati. Tapi anak yang sholeh/sholehah, ilmu yang bermanfaat dan amal jariyah akan abadi menemani sampai akhirat nanti.”

Sungguh Ibu, pengorbanan dan ketulusanmu telah menanamkan sebuah prinsip yang kuat di hatiku. Begitu juga saat semua orang meributkan tentang warisan, dalam hati kutanamkan bahwa kelak aku tidak akan pernah mengungkit warisanmu. Sebab, ilmu yang telah Ibu berikan padaku adalah warisan yang jauh lebih berharga dari semua harta dunia.

Ibu, dengan semua kerja keras dan jerih payahmu menanggung nafkah keluarga tak serta merta menjadikanmu tinggi hati dan tak hormat kepada bapak. Katamu saat itu, “apa yang bisa kamu banggakan dari membangkang kepada suami?”

Aku terdiam saat itu. Tidak tahu harus menjawab apa.

“Seorang istri tidak boleh membangkang kepada suaminya hanya karena dia ikut menafkahi keluarga. Mencari nafkah membantu suami itu menjadi sedekahnya istri. Tapi di rumah, suami tetaplah imam. Jadi mau bekerja sebagai apa dengan gaji seberapa pun tak boleh membuat seorang istri melawan suaminya. Sebaliknya, istri harus menurut apa kata suami selama tidak bertentangan dengan agama. Itu yang ibu pelajari dari nenekmu, Nak. Dan ibu berharap kelak pun kamu bisa demikian. Memberikan hormat kepada suamimu sekalipun kamu bekerja dan gajimu lebih tinggi darinya. Karena masa depan akhiratmu ada di tangan suamimu. Apakah dengan ridhonya akan membawamu ke surga atau dengan sikap membangkangmu yang akan mengantarmu ke neraka, kamulah yang menentukan,” engkau menjelaskan panjang lebar padaku.

Baktimu pada bapak memberiku pelajaran berharga, Bu. Tidak ada alasan untuk menjadikan diri kita lebih tinggi di hadapan suami. Karena bagaimana pun dialah imam dan pemimpin kita. Ikut mencari nafkah untuk keluarga tak boleh menjadikan kita merasa tinggi dan hilang hormat terhadap suami.

Ibu, jika Allah Swt meletakkan surga di telapak kakimu maka pintu surga ada di tangan seorang bapak yang mencari nafkah untuk keluarganya. Kini, engkau mengemban semuanya. Ibu merawat suami dan anak-anak, mendidik anak-anak serta mencari nafkah untuk keluarga. Melihatmu berpayah-payah dan berlelah-lelah dengan semua itu, sungguh, aku melihat bahwa engkaulah penggenggam surga itu, Ibu. Dimana surga tersimpan di kakimu dan pintunya terhampar di kedua tanganmu.

Ibu, semoga aku bisa memberikan bakti terbaik untukmu. Dan aku bisa meneladani baktimu kepada bapak sehingga bisa kuberikan bakti terbaikku untuk suamiku.

Segenap cinta kuberikan kepadamu duhai Ibu, sang penggenggam surga.

NB:

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun