Mohon tunggu...
Lintang Wisesa Atissalam
Lintang Wisesa Atissalam Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lo there. My name is Lintang. Now, I'm a student of Physics, Gadjah Mada University. Writing here and joining Kompasiana makes me grab the world :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balada Pak Kunci

25 Agustus 2011   06:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:29 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak terasa bulan puasa ini bertepatan dengan berakhirnya semester keduaku di Fisika FMIPA UGM. Liburan semester pun menghampiri senyum manisku. Alhamdulillah kusyukuri, walaupun IP-ku tak sehebat teman-temanku atau ibuku yang sedang studi S3 di Unnes. Angka 2,91 sudah cukup menjadi cerminan usahaku semester ini. Dan kuharap angka ini pun mampu menjadi cambuk semangat hidupku di UGM beberapa tahun lagi.

Liburan Lebaran ini kuhabiskan untuk melepas rindu pada keluarga di kampung halamanku, Kota Solo. Sebenarnya kurang tepat bila kugunakan istilah melepas rindu, sebab setiap 2 minggu sekali aku kembali pulang ke Solo, demi uang saku dari orangtua. Hal ini wajar mengingat jarak yang membentang antara Yogya dan Solo tak sejauh perjalanan wisata Gayus Tambunan. Cukup 1,5 jam mengendarai sepeda motor, sampailah di rumahku istanaku.

Liburan pun dimulai. Suatu pagi, usai mengantar adikku bersekolah, kusiapkan Polygon kesayangan dari garasi untuk menemani pagi cerahku. Ya, bersepeda adalah rutinitas pagi liburanku sembari berharap bisa mengurangi sedikit kelebihan berat badanku. Kukayuh sepedaku menuju kompleks Stadion Manahan, stadion kebanggaan Laskar Pasoepati Persis Solo, yang jaraknya sekitar 8 km dari rumahku. Di perjalanan inilah aku bertemu kembali dengan sosok sederhana penuh inspirasi yang telah kukenal sejak SD. Hampir setahun sudah aku tak bersua dengannya. Terakhir, saat aku memohon doanya menjelang UN dan Utul UGM tahun lalu.

Di pertigaan Pasar Jongke ia berdiri. Di pinggiran traffic light meja kerjanya kokoh menemaninya. Dengan celana panjang bahan dan kemeja kusutnya ia bekerja. Kacamata plus senantiasa membantu ketelitiannya. Tak banyak yang berubah darinya semenjak pertama kali aku mengenalnya, kecuali uban yang kian memutihkan rambutnya. Siapa dia? Aku pun tak tahu siapa namanya. Aku biasa memanggilnya Pak Kunci, karena memang karirnya adalah sebagai seorang tukang kunci biasa.

Sejak kelas 3 SD orangtuaku membiasakanku hidup mandiri, termasuk ketika pulang sekolah aku harus terbiasa dengan angkutan umum, bus kota. Inilah momentum awal perkenalanku dengan Pak Kunci. Di sela-sela pekerjaannya, ia senantiasa membantuku dan teman-teman SD-ku menyeberangi padatnya jalanan kota. Dia juga yang selalu memancing canda tawa saat kami jenuh menanti datangnya bus kota. Bahkan terkadang ia pun berbagi roti makan siangnya dengan kami. Senyuman akrabnya kala itu tak menampakkan sedikitpun kesibukan, kelelahan, dan kesusahan yang dialaminya.

Masih terekam di benakku kisah masa mudanya yang pernah ia ceritakan. Dahulu, Pak Kunci adalah sosok pemuda gigih dan cerdas kebanggaan kampungnya. Terlebih prestasi bulu tangkisnya yang hampir saja membawa ia dan kampungnya menuju pentas bulu tangkis nasional. Konflik keluarganya-lah yang membuatnya terpuruk. Membuatnya membuang angan-angan yang ia impikan. Membuang sebagian rencananya di masa depan. Masih kuingat bagaimana senyum ikhlasnya berusaha menutupi kesedihan dan ketegaran yang muncul saat ia bercerita.

Aku bersyukur telah mengenalnya. Darinya, aku mengerti bagaimana seseorang harus menjalani hidup, hidup yang menyenangkan ataupun hidup yang penuh cobaan. Kesederhanaan Pak Kunci merupakan cara mujarabnya untuk selalu menerima apa yang telah dianugerahkan padanya. Kesederhanaan pula lah yang membuatnya tak melalaikan kewajiban beribadah kepada Allah. Ditambah lagi dengan kesabaran Pak Kunci, yang menjadi tameng baginya untuk tidak sedikitpun mengeluh atas kehendak Allah. Kesabarannya menerima keadaan justru membuatnya nampak lebih berwibawa dibandingkan dengan para pejabat yang mengeluhkan gaji mereka. Ya, dialah Pak Kunci yang kukenal, yang menginspirasiku dengan kesederhanaan dan kesabarannya. Tak dapat dipungkiri bahwa kesederhanaan dan kesabaran adalah kunci nyata keberhasilan sekaligus kebahagiaan dalam menapaki kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun