BERITA PAGI INI DI KOMPAS CETAK
Bandung, Kompas - Senat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, tidak mengabulkan usulan pencabutan gelar profesor yang disandang AABP (43), dosen Jurusan Hubungan Internasional Unpar, yang dituduh menjiplak karya Carl Ungerer. Usulan pencabutan gelar diajukan Senat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik kepada Senat Unpar. ”Senat fakultas boleh saja mengusulkan itu, tetapi Senat Unpar tidak memutuskan demikian,” ujar Rektor Unpar Cecilia Lauw, Jumat (12/2). Ia kemudian menunjukkan hasil risalah sidang Senat Unpar yang tidak menyinggung sama sekali soal usulan pencabutan gelar profesor AABP. Namun, hasil sidang itu membenarkan bahwa beberapa tulisan AABP yang dimuat di Harian The Jakarta Post adalah hasil plagiarisme. Dalam rapat yang dilakukan Kamis (11/2), Senat Unpar menyatakan, plagiarisme bertentangan dengan integritas, tata krama, dan nilai-nilai akademik. Senat merekomendasikan agar rektor menerima pengunduran diri AABP sebagai dosen. Namun, Cecilia memiliki pemikiran lain. Menurut dia, kasus plagiat AABP harus diselesaikan dengan kepala dingin. ”Tidak bisa emosional dan reaktif,” katanya. Romo Laurentius Tarpin, Osc, rohaniwan sekaligus pengajar Ilmu Filsafat Unpar, mengatakan, hukuman yang dijatuhkan, khususnya di dalam kasus ini, haruslah bersifat mendidik, bukan destruktif. ... (http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/13/04233559/gelar.profesor.tak.dicabut) [caption id="attachment_73355" align="alignleft" width="151" caption="(Sumber: http://iodas.net23.net/board_of_advisory.html)"][/caption] BEDA ANTARA SENAT FAKULTAS DAN UNIVERSITAS Hal-hal yang bisa kita temukan dari uraian di atas: 1. Ada perbedaan antara senat fakultas dan universitas. Dalam hal ini tentu senat universitas lebih berkuasa daripada senat fakultas. 2. Hasil risalah senat universitas seperti rektor sebutkan tak menyinggung sama sekali soal pencabutan gelar AABP sebagai professor. Ini aneh sebab mengapa kok tidak ada pembahasan soal ini padahal kan senat fakultas sudah mengajukan pencabutan gelar. 3. Rektor mengatakan kasus plagiarisme harus diselesaikan dengan kepala dingin. Perhatikan kalimatnya, pasif. Maksudnya siapa yang harus menyelesaikan dengan kepala dingin secara persis? Mengapa ukurannya jadi ke emosional dan reaktif? Ini kan persoalan akademis dan etika dalam dunia pendidikan. Contoh plagiarisme sudah 6 buah tulisan, 4 di antaranya di The Jakarta Post, media yang bisa siapa saja akses di dunia ini. Bagaimana menghubungkan antara yang emosional dan reaktif dengan plagiarisme seorang professor yang sudah memplagiat 6 tulisan yang sudah terbukti sampai sekarang? 4. Senat universitas sudah tahu bahwa AABP melakukan plagiarisme dan mengatakan ini bertentangan dengan integritas, tata krama an nilai-nilai akademik. Jadi menerima pengunduran dari AABP saja ya? Jadi AABP boleh mundur dan membawa gelar professornya yang pernah dia terima dari Unpar. Duuh, memang kalau di luar sana apa orang tak lebih mentertawakan bahwa gelar itu masih melekat padanya sementara Unpar tidak lagi menerima AABP mengajar di Unpar? Apa tidak lebih baik kalau sekalian saja Unpar membujuk agar AABP tetap mengajar di Unpar dan menolak pengunduran dirinya? 5. Hukuman harus mendidik dan bukan destruktif seperti kata Romo Laurentius Tarpin, Osc. Romo, publik masih bisa memperbincangkan: apa itu mendidik, apa itu destruktif. Justru potensial kalau Unpar tak mencabut gelar professor Pak AABP, hal itu akan destruktif bagi dunia pendidikan Indonesia; menjadi contoh yang tidak baik. Orang nanti bisa bilang: "Ah, nggak apa-apa kalau melakukan plagiat, paling keluar dari tempat kerja dan masih bisa cari kerja di tempat lain. Cuma itu. Apa susahnya? Dulu di Unpar pernah professor melakukan plagiarisme dan Unpar hanya menerima pengunduran diri sang professor." Mencabut gelar professor dalam kasus ini juga bisa merupakan hal yang mendidik jadi publik terutama dunia lembaga pendidikan di Indonesia belajar untuk taat pada apa yang senat universitas katakan: integritas, tata krama an nilai-nilai akademik. 6. Kalau saya jadi AABP, saya akan minta gelar professor saya juga silahkan cabut saja. Apa gunanya saya bergelar professor dan potensial menjadi bulan-bulanan dan olok-olokan publik? Rekan paling dekat saja, Senat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sudah mengajukan pemecatan kok malah senat universitas 'biasa-biasa' saja, hanya merekomendasikan agar rektor menerima pengunduran diri?) Kalau Pak AABP menulis lagi tanpa embel-embel professornya (setelah menyerahkan kembali gelar itu ke Unpar), saya akan jauh lebih menghargai tulisan beliau dan percaya pada isinya bersih dari plagiarisme. Kalau Pak AABP bisa mengundurkan diri dari Unpar berarti kan beliau bisa juga melepaskan gelar professornya? 7. Tentu sikap bagus meminta mundur dari Unpar. Hanya saja, saya juga bisa baca ini sebuah "langkah" mencari simpati publik. Bahasa lainnya: "Daripada Unpar memecat saya dengan tidak hormat, jauh lebih terhormat bagi saya mengundurkan diri saja lebih dulu!" Saya katakan ini karena Pak AABP terlanjur mengatakan bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah unintentionally mistake. IMPLIKASI TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA Kalau saya perhatikan diskusi yang berlangsung beberapa hari ini di Kompasiana ini, orang bukan tak menghormati AABP sebagai seorang akademisi tetapi menyesalkan tindakan plagiarismenya. Awalnya beliau ini mengatakan bahwa tindakannya adalah sebuah unintentionally mistake tetapi setelah terbukti bahwa tidak hanya sekali itu, 12 Nov 2009, beliau melakukan plagiarisme, bagaimana pula beliau mau mempertanggungjawabkan unintentionally mistake-nya itu? Apa yang mau kita cari dalam dunia pendidikan kita di Indonesia ini? Hanya mencetak terutama orang-orang pintar tapi lemah atau tak berkarakter? Nggak ada jaminan saya kira bahwa publik tidak akan mentertawakan AABP di luar Unpar termasuk di dunia internasional dengan tetap menyandang gelar professornya. Jauh lebih terhormat baginya berkarya lagi dan memperoleh gelar professor secara terhormat di kemudian hari. Hal ini akan menjadi teladan yang baik untuk menegakkan tata krama, nilai-nilai akademik dan integritas dunia pendidikan kita kalau memang Unpar khususnya senat universitas peduli. Saya perhatikan, generasi tua kok lembek? Tidak tegas. Malah kesan saya, mulai terjebak pada basa-basi dan bahasa-bahasa yang mengabur. Unpar sendiri kan yang memberikan gelar professor pada AABP? Oooh, hanya menerima pengunduran diri dari AABP? Beberapa hari yang lalu sempat beredar berita bahwa Unpar akan memberhentikan professor ini dengan tidak hormat dan mencabut gelar professornya. Apa tidak lebih berguna tidak hanya bagi Unpar tetapi juga bagi lembaga pendidikan di Indonesia untuk memberhentikan secara hormat dan mencabut gelar professor? Betul telah banyak dana keluar untuk menyekolahkan seorang professor mulai dari TK sampai S3 di dalam dan luar negeri. Jumlah dana keluar ini tidak ada relevansinya dengan hukuman bagi professor pelaku plagiarisme demi kepentingan yang jauh lebih besar. Kalau soal banyak dana keluar, ah, begitu banyak dana yang bisa hilang begitu saja di negeri ini karena korupsi. Mengapa warga di negeri ini melakukan korupsi berjemaah? Antara lain karena lembaga-lembaga pendidikan kita termasuk universitas tak becus mendidik karakter warganya baik dosen maupun mahasiswi dan mahasiswinya. Lebih logis kalau tidak mencampuradukkan 'perasaan' (emosional, reaktif) dengan fakta kesalahan yang ada kecuali ada sesuatu di balik sesuatu lagi dalam kasus ini. Bisa juga membandingkan dengan pengalaman negara-negara lain yang pernah mengalami kasus yang mirip kalau ada. Apakah Unpar juga tahu kalau plagiarisme tidak hanya terjadi di Unpar tapi di berbagai unversitas di Indonesia? Apakah karena ada "kebiasaan" plagiarisme di Indonesia maka Unpar jadi lunak dalam memberikan hukuman mendidik bagi salah satu dosen di sini dengan hanya menerima pengunduran dirinya dari Unpar? Ya, Pak AABP sudah minta maaf. Itu kita hargai tetapi maaf saja tidak cukup kan? Menerima maaf bukan berarti melembekkan hukuman kan? Menerima pengunduran diri saja itu lembek. Seolah-olah begitu hebatlah Pak AABP dengan 'gentleman' mengundurkan diri. Paus Paulus Yohanes II memaafkan Mehmet Ali Agca tetapi pengadilan tetap memberikan hukuman dan Paus setuju dengan tindakan pengadilan Italia ini. Dunia internasional juga sudah mengetahui kasus plagiarisme ini. Tentu saja ini memalukan bagi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Apa kata dunia internasional kalau seorang professor mengundurkan diri dari Unpar karena plagiarisme tetapi tetap membawa gelar professornya dari universitas itu? Belum pernah di Indonesia mencabut gelar professor? Mulai saja kalau memang itu berguna demi kebaikan dunia pendidikan kita. Mengapa "takut"? Professor kan manusia biasa juga! Atau ada apa sebenarnya???*** Tulisan-tulisan berkaitan: Professor (Indonesia) Memalukan? Profesor Plagiator: Maling Teriak Maling Prof. Banyu Perwita: Keluar atau Lanjut? Prof. Banyu Perwita: Plagiat ini Bukan yang Pertama! Prof. Anak Agung Banyu Perwita: “It is not an Unintentionally Mistake Professor!” Prof. Banyu Perwita: The JakPost Lagi-lagi Kecolongan! Prof.Dr.Yahya Muhaimin (UGM) juga Plagiator??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H