Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semurni Apa Kekristenan Batak-Kristen?

20 September 2010   04:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:07 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_263148" align="alignleft" width="189" caption="Jemaat Kristen Kanisah Oriental saat beribadah pada Hari Minggu."][/caption] Bulan lalu, saya merasa geli sekaligus terkejut karena seorang suster Katolik mengatakan kepada saya di depan beberapa orang lain bahwa Kristen itu Protestan. Dalam benak saya selama ini, Kristen itu ya baik Protestan (dengan semua denominasi yang ada di dalamnya) maupun Katolik. Suster itu ngotot mengatakan bahwa dia Katolik, bukan Kristen. Belakangan, saya baru mengetahui bahwa pola pikir macam itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Waktu itu saya sempat berpikir, "Eh, suster ini dari mana? Gini hari masih berpikir begitu? Kan sudah lama Konsili Vatikan II berlalu?" Konsili Vatikan II 1962 merupakan konsili yang sangat penting, sebuah tonggak bersejarah baru; dalam konsili ini ada pembaharuan besar. Yang paling terkenal adalah pembaharuan cara pandang gereja terhadap umat beragama lain (non-Kristen). Sebelum konsili ini, yang ada adalah: di luar gereja tidak ada keselamatan. Dalam Konsili Vatikan II, hal itu diperbaharui: di luar gereja ada keselamatan. Kalau Anda memperhatikan desain arsitektur gereja-gereja Katolik yang ada di Indonesia, Anda akan melihat hal menarik: adaptasi terhadap kultur lokal. Gereja-gereja Katolik yang ada di Sumatera Utara, yang saya lihat langsung dan membuat saya kagum ada di Brastagi Tanah Karo, Pangururan Samosir, Sibolga Tapanuli Tengah. Ini hanya sedikit contoh untuk menggambarkan bagaimana mereka menerjemahkan pembaharuan itu dalam praktek. Gereja-gereja Protestan kalah jauh dalam hal pembaharuan ini; denominasinya yang terlalu banyak justru menjadi salah satu kelemahan utama untuk melakukan pembaharuan. Di masing-masing denominasi dalam jumlah yang kecil-kecil itu, para elitnya sibuk merebut kekuasaan menjadi ephorus atau sekretaris jenderal dengan umat yang relatif sedikit. Permainan yang mereka mainkan sudah tidak ada bedanya dengan apa yang biasa kita tonton di kalangan para politisi merebut jabatan eksekutif dan legislatif. HKBP adalah gereja Kristen-Protestan yang paling besar di Indonesia dan Asia tenggara dalam hal jumlah umat dan juga pengaruh baik di tingkat nasional dan internasional. Gereja-gereja Protestan lainnya mempunyai jumlah umat yang jauh lebih kecil dibanding dengan HKBP. Harry Parkin menerbitkan sebuah buku berjudul: Batak Fruit of Hindu Thought pada tahun 1978. Dalam buku ini kita bisa melihat dengan jelas orang Batak mempunyai latar belakang Hinduisme yang kuat. Hampir seluruh kata-kata religius yang ada dalam kosa kata bahasa Batak (dalam hal ini Bahasa Batak Toba) berasal dari Hinduisme. Alkitab (the Holy Bible) itu pun diterjemahkan ke dalam bahasa Batak mempergunakan kata-kata yang tak terpisahkan dengan latar belakang Hinduisme itu. Jadi bagaimana dong? Masih bisakah saya mengatakan Kekristenan saya itu murni ketika bahasa yang saya pakai berasal dari tradisi Hinduisme yang kental? Salah satu contoh yang mudah bagi semua adalah: Debata. Orang Batak Toba (Kristen) menyebut Tuhan sebagai: Debata. Ini berasal dari Hinduisme. Parmalim menyebutNya sebagai: Mula Jadi Na Bolon. Terjemahan paling dekatnya adalah Alpha: Asal Mula Segala Yang Ada. Kekristenan di Eropa dipengaruhi oleh adat-istiadat pra-kristen di sana. Pohon Natal adalah salah satu contoh yang jelas; ini tradisi mereka sebelum agama Kristen tiba di Eropa. Setiap agama cenderung melakukan adaptasi di setiap tempat di mana dia hadir, tumbuh dan berkembang termasuk Kekristenan di Tanah Batak. Dalam konteks inilah, seharusnya orang-orang Batak Kristen bisa menghargai bahwa pembaharuan itu penting demi kebaikan bersama; cara pandang terhadap Parmalim yang salah sama sekali tidak berguna. Mayoritas umat Kristen yang Protestan masih terkerangkeng dalam dogma-dogma triumpalis Kekristenan yang ekslusif itu. Sejak kecil sampai dewasa kebanyakan orang takut mempertanyakan kebenaran dogma-dogma yang ada dalam agama yang dianutnya seolah-olah mempertanyakan itu saja sudah cukup untuk membuat orang terbakar-hangus hidup-hidup ribuan tahun di neraka. Mereka memilih bertahan dalam ruang-ruang gelap yang dogmatis dan menakutkan itu; bagi mereka mempertanyakan kebenaran agamanya adalah dosa, tanda iman lemah. Siapa yang sudi dituding beriman lemah? Masih banyak orang Kristen yang hidup dalam alam pikir dan iman: extra ecclesiam nulla salus, di luar gereja tidak ada keselamatan. Konsili Vatikan II tahun 1962 telah merubah peryataan yang ekslusif ini. Tentu saja kaum Protestan perlu mengamini Konsili Vatikan II kecuali mereka mau hidup dalam kerangkeng teologinya yang sempit dan tidak peka terhadap pluralitas agama dan budaya dalam diri umat manusia di seluruh jagat. Kekeristenan masyarakat Batak itu terdiri dari paling tidak: Habatahon (ke-Batak-an) berpadu dengan Kekristenan a la Eropa yang sudah terlebih dahulu membaur dengan konteks Eropa. Sedikit saja orang-orang Batak yang menganut agama Kristen yang bukan berasal dari Eropa seperti Kenisah Oriental: Kristen Pakai Jilbab?. Soal kemurnian termasuk dalam hal beragama, barangkali tak satupun kita ini yang benar-benar murni?***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun