Saya baru membaca tulisan Pak Pepih Nugraha: Mari Menulis Buat Almarhumah Puri!, itulah yang menggerakkan membuat tulisan ini. Saya mendaftar menjadi Kompasianer Juli tahun ini tapi tidak aktif membaca apalagi menulis. Saya memposting tulisan pertama saya Agustus lalu, waktu itu masih perlu moderasi dari Admin Kompasiana. Begitu buka lebih dari seminggu kemudian, saya terkejut dan senang, rupanya sudah nongol dan ada tanggapan-tanggapan.
Saya kembali lagi ke Kompasiana ini dalam seminggu terakhir ini; ternyata sudah ada perubahan. Saya tidak membaca postingan Puri (http://kompasiana.com/ceritapuri), baru hari ini. Saya baru tahu bahwa dia menderita kanker payudara dan kemarin berpulang kepada penciptanya dari tulisan Pak Pepih Nugraha di atas.
Saya salut pada seorang dokter seperti Pak Anugra Martyanto yang punya usul bagus agar ada buku untuk dan atas nama Puri. Terimakasih Pak Anugra untuk kepedulian dan tindakan Anda.
PENDERITA KANKER ADA DI DEKAT DAN SEKITAR KITA
Saya baru membaca postingan Puri di Kompasiana ini. Hal yang paling saya kagumi dari orang sepertinya: Dalam usia belia ia mampu mentertawakan rasa sakit dan penderitaannya. Tidak banyak orang yang punya kemampuan macam ini. Penderitaan seorang penderita kanker bisa kompleks mulai dari sakit fisik sampai ke masalah psikologis dan spiritual. Tanpa penangangan yang integritatif, cukup sulit untuk bisa bertahan menjadi seorang manusia yang menderita kanker, apapun jenisnya itu dan ada begitu banyak jenis kanker.
Oktober tahun lalu, saya menjaga dan mengurus adek perempuan saya yang baru saja lulus S1 waktu itu di RS Elisabeth Medan sebelum kami ke Penang ke Gleneagles Medical Center (GMC). Adek saya didiagnosis menderita kanker darah, leukemia jenis chronic myelogenous (CML). Di RS Elisabeth itu ada gereja. Suatu malam lewat tengah malam saya pergi ke sana. Sunyi dan sepi namun saya tidak merasa sendiri. Berhari-hari kurang tidur, badan lelah, sangat kaget dan ketakutan mengetahui bahwa adek perempuan saya yang paling kecil menderita kanker darah. Berapa lama lagi dia akan hidup; bagaimana dia musti menjalani hidupnya? Malam itu, saya ingat, saya mengatakan: "Terima kasih Tuhan! Kami pasti bisa melalui ini! Pasti bisa!" Heroiklah. Saya sampai mengacungkan tangan kanan saya yang terkepal ke udara seperti orang sedang melakukan pekik-merdeka sementara air mata saya bercucuran.
Di Penang, dalam setiap kunjungan ke GMC apalagi karena kami berada di klinik seorang dokter hematolog-onkologis, kami biasa berjumpa dengan para penderita kanker; sebagian dari Indonesia (pada umumnya dari Sumatra dan Jakarta).
Gahasa Purba, berusia 6 tahun, berasal dari Dolog Sanggul, dekat Tarutung. Dia anak pertama dari dua bersaudara . Rambutnya rontok, kulitnya pucat tetapi dia bersemangat. Nenek dan kedua orangtuanya menjaganya kadang selama berbulan-bulan di Penang karena dia memerlukan perawatan intensif. Ayahnya pernah satu pesawat dengan kami dari Medan ke Penang. Dalam perjalanan ayah yang baik ini bercerita bagaimana awalnya anaknya yang paling besar menampakkan gejala-gejala kanker. Ia biasanya aktif bermain-main seperti anak-anak pada umumnya. Ibunya di awal-awal kurang percaya ketika anak ini mengeluh sulit bergerak. Ibunya mengira anaknya sedang bercanda tetapi segera mengetahui bahwa ada masalah dengan anaknya.
Beberapa kali kami berjumpa dengan Gahasa di Penang. Anak ini tegar. Luar biasa. Sekilas, karena lama tidak bermain-main di ruang terbuka bersama dengan anak-anak, ia nampak jauh lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya. Terakhir kami jumpa di Penang, keadaannya sudah jauh lebih baik. Kalau ia pakai topi, ia nampak tidak seperti sedang sakit. Semoga rambutnya sekarang sudah tumbuh kembali.
Ada penderita yang mampu menjalani proses pengobatan di rumah sakit yang bagus dengan dokter yang berkualitas; sebagian lagi tidak bisa karena keterbatasan biaya termasuk keterbatasan informasi. Saya telah mendengar kisah-kisah sedih dari para penderita kanker dan keluarganya. Ada yang pernah sekali pergi ke Penang tetapi kemudian mundur karena tidak ada biaya untuk melanjutkan perobatan. Lalu mencoba obat ini dan obat itu termasuk obat kampung. Termasuk ada yang meminum darah hewan yang mentah.
Pada permulaan, akan ada lumayan banyak kunjungan dari kerabat dan tetangga. Dalam pengalaman saya, mereka memberikan macam-macam usul termasuk tentang obat yang katanya ampuh. Sebagian terasa aneh dan menjengkelkan bagi saya tapi saya berusaha bersabar mendengarkan semua pendapat itu.