Saya barusan bertanya pada adek perempuan saya yang paling kecil kapan terakhir kali dia ingat ikut pesta panen yang dalam bahasa lokal di Simalungun kami sebut Pesta Pariama. Pariama berarti panen, khususnya panen padi. Adek saya bilang, itu waktu dia masih SD. Berarti sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Pesta pariama saya kira sudah ada sebelum kekristenan masuk di Urung Panei ini. Para leluhur dulu telah biasa mensyukuri dan merakayakan kebaikan Tuhan dan Alam Semesta. Gereja mengambil dan "mengkristenkan" perayaan syukur ini. Dulu, semua rumah tangga menanam padi dan biasanya penduduk di Urung Panei, di kampung saya menanam padi secara serentak, paling beda-beda hari karena mereka menanam padi secara bergotong royong, marharoan. Apa penyebab tak lagi merayakan panen? [caption id="attachment_77688" align="alignleft" width="300" caption="Di ladang padi kami di Simarbangsi. Orang-orang zaman dulu justru lebih dekat dengan Alam; mempunyai tradisi merayakan dan mensyukuri kebaikan Alam bagi mereka. (Foto oleh: HS)"][/caption] 99% penduduk di Urung Panei Kristen, Protestan, warga Gereja Kristen Protestan Simalungun. Jadi, pesta panen biasa berlangsung di gereja. Bagi anak-anak, inilah salah satu acara paling sedap. Biasa berlangsung pada hari minggu usai panen padi di ladang yang juga berlangsung dalam waktu bersamaan. Masing-masing keluarga akan membawa makanan dari rumah. Warga gereja secara bergotong royong akan mempersiapkan lauk-pauk. Mereka memasak di samping gereja. Usai ibadah minggu, makan bersama. Keluarga-keluarga duduk melingkar, biasanya terdiri dari beberapa keluarga membentuk lingkaran dan berbagi makanan dan lauk yang mereka bawa dari rumah. Lauk yang ada di gereja memang merupakan lauk utama tetapi sebagian juga biasanya membawa ikan dari rumah. Biasanya ikan mas yang banyak terdapat di sawah. Sekarang, sawah sudah terbelangkalai. [caption id="attachment_77685" align="alignright" width="300" caption="Gereja di Urung Panei di tepi jalan lintas Brastagi - Parapat lewat Simarjarunjung. (Foto oleh: LTS)"][/caption] Petugas pembagi lauk akan memanggil nama-nama kepala keluarga setiap rumah tangga. Lalu, yang mengambil lauk yang telah dibagi rata sedemikian rupa itu adalah seorang anak mewakili keluarga itu. Ini pekerjaan menyenangkan bagi sang anak. Jangan Anda kira si petugas akan memanggil nama kepala keluarga (biasanya ayah) sebab di masyarakat Batak, pantang nian menyebut nama orang tua. Ayah atau ibu akan dipanggil oleh sesama orang tua dengan nama anak yang paling besar dengan tambahan "Pa" di depan nama si anak untuk ayah, dan "Na" di depan nama si anak untuk ibu. Contoh: kalau nama anak paling besar Roma, maka panggilan untuk ayah: Parroma; ibu: Narroma. Kalau nama anak paling besar Togar, panggilan untuk ayah: Pattogar; ibu: Nattogar. (Jangan sampai anak kecil atau remaja memanggil sebutan itu untuk orang yang sudah menikah, itu namanya tak tahu adat. Setiap orang mempunyai cara bertutur terhadap orang lain, cara menyapa setiap orang tua berdasarkan hukum kekerabatan). [caption id="attachment_77681" align="alignleft" width="300" caption="Urung Panei di bawah G. Simarjarunjung. (Foto oleh: LTS)"][/caption] Kita memang harus berubah tetapi perubahan yang bagaimana? Saya justru melihat perubahan yang terjadi seperti di kampung saya merenggangkan ikatan komunal yang penting. Pesta pariama, pesta panen antara lain berfungsi menjaga tatanan sosial bagi sebuah komunitas. Dalam pesta seperti ini kami dulu membangun kebersamaan dan suka cita setelah bekerja keras mulai dari mempersiapkan lahan menanam padi sampai panen. Ladang sebagian penduduk kampung jauh-jauh dan medan-nya sulit. Hasil panen padi akan mereka antar ke rumah pakai kepala, menjunjung. Dulu begitu mudah orang untuk saling bantu-membantu. Sekarang? Semua sudah serba uang. Membangun rumah pun dulu tak ada yang terima bayaran, gotong royong. Sekarang? Tak ada lagi cerita begitu. Desa saja sudah kehilangan gotong-royong; kehilangan roh komunalnya. Kalau kita sudah kehilangan roh, apa pula yang kira-kira akan terjadi ya? Desa lain mungkin mengalami hal yang mirip tetapi mudah-mudahan tak separah di kampung saya. Keparahan di kampung saya tak lepas juga dari beberapa faktor: kehadiran sebuah peternakan milik swasta di sana yang mempekerjakan sebagian warga sebagai buruh sehingga ladang menjadi terbengkalai. Tak lagi semua keluarga menanam padi. Mereka beli beras warna putih yang tak enak dan tak begitu bergizi itu.*** Tulisan berkaitan:
Jangan-sampai-varietas-padi-ini-hilang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H