[caption id="attachment_191680" align="alignleft" width="298" caption="(Sumber: m.kompas.com)"][/caption]
Pak Prayitno, tulisan Anda sedang menjadi headline ketika saya menuliskan catatan ini; Kebangkitan-Peradaban-Islam Anda menyebutkan tiga hal pokok isi pidato SBY dalam sambutannya pada peringatan Isra' Mi'raj 1431/2010 di Istana Negara 9 Juli lalu: Pertama tentang kebangkitan kembali peradaban Islam di Indonesia terkait dengan arah modernisasi negara. Kedua, tentang  tragedi akhlak yang melanda sebagian masyarakat berupa perilaku yang sangat menyimpang dan menodai nilai-nilai agama dan kesusilaan. Ketiga, tentang masalah kebebasan dan hak yang tanpa batas.
Pak Prayitno, sebagai warga negara di republik ini, saya jadi sulit membedakan apakah SBY sebagai kepala negara atau pemimpin agama. Sebagai kepala negara, tentulah beliau musti menjaga persatuan dan kesatuan di negeri yang plural ini. Tentulah beliau pun perlu menjaga perasaan saudara-saudari kita di Indonesia bagian Timur itu. Tetangga kita yang relatif dekat, Australia, mempunyai seorang perdana menteri yang secara terang-terangan mengatakan bahwa dia tidak menganut agama yang ada alias bisa umum katakan ateis. Kalangan Protestan di sana merasa tidak senang tetapi mereka bilang bisa terima itu sebab urusan negara adalah urusan negara yang musti menjaga kepentingan semua golongan yang ada di negara itu. Biang keladi kebobrokan termasuk dalam hal moralitas tentu bukan hanya modernisme; modernisme yang saya mengerti memberikan paling tidak dua sisi: kebaikan dan keburukan sekaligus, tergantung bagaimana suatu negara mengemasnya. Marilah kita diskusikan, di mana saja di negara-negara di dunia ini entah dalam sejarah atau yang ada sekarang, yang berhasil menjadi negara teladan dalam hal moralitas, ahlak dan kesusilaan ketika mengutamakan nilai-nilai satu agama saja. Saya kira baik nian kalau kita terbuka membicarakan ini di sini sehingga kita tidak salah langkah sebab di negeri ini kita plural. Founding fathers kita tidak berbicara seperti SBY sejauh yang saya ketahui --mereka melihat jauh ke masa depan atas konteks Indonesia saat itu yang plural. Tragedi peradaban, tragedi akhlak dan penodaan terhadap nilai-nilai agama dan kesusilaan bagi bangsa ini terutama adalah korupsi dan rendahnya kualitas pendidikan kita. Para koruptor di negeri ini di semua lini sudah tak tahu malu dan bertindak di luar batas. Persoalan-persoalan yang menyangkut korupsi begitu bertele-tele di negeri ini, membuat semua pihak lelah dan akhirnya menguap begitu saja. Kasus Gurita Cikeas tergantikan oleh kasus-kasus lain. Selalu ada kasus-kasus baru menggantikan kasus-kasus lama. Ini modus atau apa? Persoalan kita di negeri ini adalah persoalan keadilan termasuk bagaimana Pusat di Jakarta memperlakukan daerah-daerah yang selama ini mensuplai Jakarta. Contoh yang paling jelas yang bisa kita sebut adalah kemarahan saudara-i kita di Aceh di masa lalu atas perlakuan Jakarta. Ini kan bukan persoalan agama tapi persoalan keadilan. Kalau bicara keadilan dan kemanusiaan, semua agama yang ada di kolong langit punya konsep dan nilai itu kan! Itu sebab bantuan datang dari mana saja ketika Tsunami di Asia. Tidak elok melarikan persoalan ke masalah keagamaan dan kesusilaan di ranah keagamaan ketika yang kita hadapi bersama tanpa pandang bulu apa agama kita adalah korupsi dan buruknya managemen pemerintahan. Semua agama-agama yang ada hingga saat ini pernah berjaya dan memberikan sumbangan penting bagi peradaban manusia; semua agama yang ada hingga saat ini tetap melakukan dan mengusahakan memberikan sumbangan bagi peradaban ini tanpa kecuali. Tanpa usaha-usaha positif ini, sulitlah agama-agama yang ada bertahan sampai sekarang dengan pengikut jutaan bahkan milyaran. Yang elok bagi SBY sebagai kepala negara di sebuah negara seperti republik ini yang penduduknya plural adalah mengundang semua unsur yang ada memberikan kontribusi mereka yang paling baik dalam membangun dan memartabatkan negeri ini. Sisi lain, saya menangkap bahwa jemaah yang SBY hadapi saat pidato itu adalah saudara-i Muslim di negeri ini, sehingga wajar saja kalau SBY menyemangati pendengarnya dengan nada yang subjektif seperti itu. Hanya saja kurang bijak sebagai kepala negara sebab apapun yang SBY katakan akan diliput dan disebarkan oleh media ke seluruh dunia. Saya pun akan merasa sama anehnya kalau Obama di Amerika berpidato dengan isi pidato yang mirip dengan SBY. SBY lewat pidatonya yang demikian itu sudah mengkuatirkan sebagian penduduk di negeri yang plural ini. Peradaban Islam dalam konteks mana dan kapan pula yang SBY maksudkan? Jadi Pak Prayitno, bukannya malah apa yang SBY sampaikan dalam pidatonya itu yang menjadi pilihan strategis untuk menyelamatkan bangsa ini tetapi sebaliknya. Justru belakangan ini ketika FPI sedang banyak beraksi dan mencitrakan Islam secara negatif, SBY malah muncul dengan pidatonya berjudul: “Saatnya Indonesia Bangkitkan Kembali Peradaban Islam." Lalu, kenapa kita mudah dan suka mengkambinghitamkan Barat pula? Yang bermasalah mereka atau kita? Salam damai Pak Prayitno! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H