[caption id="attachment_148018" align="alignleft" width="300" caption="Panorama menghadap ke Danau Toba dari atas Urung Panei, kampung kami di Simalungun. (Foto oleh: LTS)"][/caption] Saya dan adek saya senang bisa mengunjungi Tulang kami kemarin di Pematang Raya. Bisalah saya katakan bahwa secara umum, tulang itu sama dengan paman walau tak persis. Tulang dalam sistem kekerabatan masyarakat Batak adalah saudara laki-laki ibu kita, yang kandung dan yang berkerabat. Tidak boleh terbalik-balik. Dalam bahasa Indonesia, paman itu adalah istilah kekerabatan yang umum. Paman (saudara laki-laki ibu kami) ini sekarang berusia 69 tahun. Dulu dia berprofesi sebagai guru dan kemudian bekerja di dinas pendidikan di Pematang Siantar. Jadi saban hari kerja, paman kami ini berangkat dari Pematang Raya ke Pematang Siantar. Dulu jalan raya masih bagus, jauh lebih bagus daripada belakangan ini padahal, ibukota kabupaten Simalungun sudah pindah dari Pematang Siantar ke pematang Raya. Paman kami antara lain bercerita bagaimana dulu dia ke sekolah. Waktu itu, di Urung Panei, kampung kami, hanya ada sekolah dasar (SD, dulu mereka sebut sekolah rakyat atau SR) hingga kelas 3. Begitu naik ke kelas 4, maka mereka harus pergi ke Tiga Runggu, yang sekarang menjadi ibukota kecamatan Purba. Jarak dari Urung Panei ke Tiga Runggu sekitar 10 km. Jadi kalau jalan kaki memang perlu waktu sekitar 1 jam lebih. Paman kami yang lahir tahun 1941 naik kuda ke sekolah, demikian juga teman-teman satu sekolahnya yang sudah kelas 4 ke atas. Ramai-ramai, mereka berangkat pagi hari dari Urung Panei menuju Tiga Runggu. Masing-masing menaiki satu ekor kuda. Waktu itu, jalan dari Urung Panei ke Tiga Runggu belum seperti sekarang ini beraspal hitam. Pada tahun 50-an, jalan itu belum beraspal, baru awal 80-an, jalan raya menjadi bagus dan merupakan jalur lintas para turis dari arah Brastagi menuju Parapat. Panorama di sekitar Gunung Simarjarunjung ke arah Danau Toba di bawah sana memang sangat mengagumkan keindahannya, tak heranlah kalau pemerintah berusaha membuat jalan raya menjadi bagus melintasi kampung kami. [caption id="attachment_148033" align="alignright" width="300" caption="Kampung halaman kami Urung Panei di dekat Gunung Simarjarunjung. Kalau kita berada di pinggang gunung itu, maka kita akan berada di sebuah tempat dengan panorama seperti dalam foto di atas. (Foto oleh: LTS)"][/caption] Saya belum pernah dengar cerita ini sebelumnya, anak-anak SD naik kuda ke sekolah. Kuda sumbawa pula itu. Badan-badan kecil dari kampung itu, masih SD loh ya, sudah biasa menunggang kuda ke sekolah? Paman saya bilang, mereka biasanya melakukan perlombaan dari rumah sampai ke sekolah di Tiga Runggu. Oh, jadi setiap pagi, ada pacuan kuda anak-anak SD dalam jarak 10 km dari Urung Panei ke Tiga Runggu. Mereka memberikan hadiah kepada pemenang antara lain dengan cara membelikan mie goreng kepada si pemenang. Menjadi pemenang tentu merupakan hal yang mereka impikan. Maka, tak jarang pula anak-anak pemacu kuda pagi hari itu berjatuhan dari punggung kuda mereka. "Kalau kami sudah mulai berangkat dari kampung kita ke sekolah, kami ramai-ramai dan kuda kami menguasai jalanan dalam perjalanan ke sekolah itu," kata Paman saya. Ayah paman saya seorang pedagang, termasuk berdagang kuda. Jadi ketika paman saya masih kecil, orang tuanya punya banyak kuda. Saya tidak pernah tahu cerita ini karena ketika saya masih kecil, ompung (orang tua ibu saya yang juga orang tua paman saya) sudah tua dan tidak berdagang lagi. Saya pun tak pernah melihat ada kuda di sekitar rumah ompung saya itu. Rupanya, yang terjadi adalah, harga kuda pernah lebih murah daripada harga kerbau sehingga orang-orang beralih membeli kerbau. [caption id="attachment_148041" align="alignleft" width="300" caption="Sebuah kampung di tepi Danau Toba tak jauh dari Urung Panei. Warna putih berkilau di ujung sana adalah Danau Toba. (Foto oleh: LTS) "][/caption] Jalan raya yang sudah ada di berbagai pelosok Sumatera Utara sebagaimana di berbagai tempat di Nusantara juga mengubah kondisi masyarakat secara sosiologis dan kultural. Jalan raya sudah bagus antara Urung Panei ke Tiga Runggu pada awal 80-an, kendaraan sudah banyak beroperasi termasuk kendaraan yang membawa para turis manca negara. Bis sudah ada. Pelan tapi pasti, fungsi kuda dan kerbau sudah semakin berkurang. Sampai sekarang, warga masih memelihara kerbau sebab kalau sudah besar, harganya mahal. Yang pelihara kuda tinggal satu dua keluarga. Naik kuda ke sekolah ketika masih kanak-kanak? Wah, betapa menyenangkan! Jauh lebih menyenangkan daripada naik pesawat, hehe! Pada tahun 50-an, cuaca jauh lebih dingin di kampung kami dan sekitarnya. Maklum, daerah pegunungan. Tahun 1990-an saja, pagi hari biasa berkabut sehingga jarak pandang menjadi sangat pendek. Orang pada jarak 10 meter bisa tak tampak karena kabut yang pekat di pagi hari. Kini, sudah lain -- karena si Global Warming itu yang antara lain menipiskan persediaan kabut pagi hari di daerah pegunungan sekalipun. Kalau adek saya bilang, begitu mendengar cerita menunggang kuda ke sekolah, "Wah, macam-macam cerita Laskar Pelangi ya!" Dalam Laskar Pelangi memang mereka tak punya kuda, tetapi yang adek saya maksudkan adalah betapa menarik mengetahui serombongan anak-anak SD tahun 1950 and 60 an itu menunggang kuda ke sekolah. Mereka menambatkan kuda masing-masing di dekat sekolah. Oh, pemandangan yang menakjubkan, ada banyak kuda di sekitar sekolah dan mereka masih SD! Bayangkan anak-anak SD sekarang apalagi yang di perkotaan, harus diantar jemput sama orang tua. Tak heran mentalitas menjadi begitu berbeda antara orang zaman dulu dengan zaman sekarang. Kemandirian dan daya tahan mental manusia zaman sekarang secara umum jauh di bawah kemandirian dan daya tahan mental orang-orang zaman dulu. Bagaimana mengatasi ketimpangan yang tidak menggembirakan ini ya? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H