[caption id="attachment_64629" align="alignleft" width="300" caption="Ps Rantinus Manalu (berbaju biru berambut gondrongs) sedang memberikan orasi di depan Mapoldasu pada tanggal 14 Jan 2010; hari ini merupakan pemeriksaan kedua terhadapnya oleh Mapoldasu atas tuduhan tidak beralasan (merambah hutan Register 47 di Tapteng). Dalam pemeriksaan kedua kali ini, malah terbukti kalau di Tapteng itu tak ada register yang bernama Register 47.(Sumber: FB Nicholas)"][/caption]
Ini Medan Bung!
Pernah Anda dengar istilah: “Ini Medan Bung” ?Ini istilah yang paling tidak di kalangan orang Sumatera Utara meruapakan istilah yang puitis sekaligus memberi kesan ‘menggetarkan’. Maksudnya antara lain, dalam tafsiran bebas saya: “Ini Medan Bung: jadi jangan coba-coba bikin onar dan melakukan hal-hal yang tidak benar bagi orang sini!” Kata Medan di sini bukan semata berarti geografis (Medan sebagai sebuah kota) tetapi kultural; istilah Medan berlaku bagi siapa saja warga Sumatera Utara. Kuat dugaan saya, awalnya orang-orang Sumatera Utara menujukan istilah “Ini Medan Bung”, kepada orang-orang luar.
Yang tetap akan tinggal di Sumatera Utara ini adalah orang-orang yang memang sudah berada di sini sejak dahulu yang plural adanya. Aparat pemerintah datang dan pergi, silih berganti setiap l ima tahun bahkan bisa lebih pendek dari periode itu. Jadi para aparat ini dalam kondisi tertentu juga bisa berarti orang-luar yang datang ke sini bekerja melayani kepentingan warga, kepentingan rakyat banyak.
Belakangan sebuah lagu berjudul: Anak Medan, menjadi sangat terkenal di kalangan muda bahkan tua di Sumatera Utara. Lagu ini pengaruhnya mirip dengan lau klasik ciptaan Nahum Situmorang: Marragam-ragam.
Refleksi Warga Sumut Petang ini di Depan Kantor DPRD Sumut
Warga Sumut yang terdiri dari berbagai unsur agama, gerakan mahasiswa dan masyarakat serta individu yang peduli pada martabat dan keberlangsungan bangsa ini akan berkumpul di depan kantor DPRD Sumut di Medan petang ini untuk melakukan sebuah refleksi. Refleksi terhadap diri sebagai sebuah bangsa; refleksi terhadap pengalaman bersama dalam konteks Sumatera Utara yang tidak bisa lepas dari konteks Indonesia secara keseluruhan.
Refleksi bersama itu mutlak sebab kita merupakan satu komunitas; satu bangsa. Sebagai manusia, kita berefleksi. Manusia yang tidak melakukan refleksi atas hidupnya tak layak menjadi manusia; demikian juga komunitas atau bangsa.
Medan di mana refleksi ini akan berlangsung merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara. Medan ini kota yang plural dalam hal suku, agama, ras dan etnis. Di sini tak pernah berhasil segala macam usaha untuk memecah belah warganya mempergunakan sentimen-sentimen keempat hal itu. Penduduk kota ini dan Sumatera Utara secara umum sudah sejak zaman dahulu hidup berdampingan dengan sesamanya yang berbeda agama, suku, ras dan etnis. Penduduk di provinsi ini tahu kalau mereka saling berkonflik secara horizontal, mereka sendirilah yang rugi.
Ada riak-riak kecil yang menunjukkan potensi tidak toleran di Sumatera Utara tetapi riak-riak ini tidak bisa menggiring warga secara massal untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan diri mereka sendiri. Sejak awal abad ke-20 ada riak-riak ini tetapi toh, Sumatera Utara berhasil menjaga dan memelihara dirinya tidak terjebak pada tindakan yang merugikan diri mereka sendiri. Perbedaan agama antara lain masih terjembatani oleh adat-istiadat. Pergerakan dan perputaran ekonomi provinsi ini sebagai salah satu sumber perekonomian paling penting bagi pemerintahan pusat dan negeri ini mengikat hampir semua pihak yang ada di wilayah ini demikian juga dengan jejaring yang ada di luarnya.
Semua agama yang ada di bumi ini mengajarkan kepada setiap pemeluknya untuk melakukan apa yang baik dan benar; menolak apa yang buruk dan jahat. Agama-agama yang ada mengajarkan agar orang-orang yang sesat dalam tindakan mereka kembali ke jalan yang benar, siapa pun itu (tukang sapu, pemulung, presiden, gubernur, dokter, dll --- tanpa kecuali tanpa pandang bulu apa profesi yang berkaitan).
Setiap hari, penduduk negeri ini harus menyaksikan berbagai macam adegan di berbagai media massa (cetak an elektronik): persoalan-persoalan berkenlindan, korupsi merajalela (korupsi berjemaah), orang-orang miskin semakin miskin dan kehilangan hak-hak azasi mereka yang paling dasar termasuk hak-hak ekonomi, politik dan budayanya.
Refleksi membuka jalan bagi siapa saja untuk kembali kepada fitrah kemanusiaannya yang sejati. Dalam hal ini tak ada perbedaan bagi seorang pemulung dengan seorang presiden sekali pun. Yang membedakan keduanya hanya profesi duniawinya yang sementara saja di mana yang satu kebetulan menjadi seorang presiden, yang satu seorang pemulung. Ini profesi yang bisa berubah-ubah. Si presiden tidak selamanya menjadi presiden demikian juga si pemulung tidak selamanya menjadi pemulung namun keduanya tetaplah selamanya menjadi manusia, paling tidak sebelum ajal mereka tiba. Pun, mereka akan tetap kita kenang sebagai manusia; kemanusiaan seorang pemulung tidak kurang dari kemanusiaan seorang presiden.
Salah satu titik temu yang paling penting dari semua orang yang ada di dunia ini, dari yang sudah mati sampai akan masih akan lahir adalah kemanusiaan kita: kita ini manusia, kita punya fitrah ilahi dalam diri kita entah kita ini seorang yang taat beragama atau tidak. Fitrah ilahi ini yang membuat nurani kita berfungsi; tahu membedakan apa yang benar dan salah. Korupsi adalah sebuah tindakan yang salah; nurani kita masing-masing jelas mengetahui ini.
Kalau orang-orang yang korupsi masih terus memelihara kebiasaan mereka, mereka sendiri juga yang (akan) turut menanggung akibatnya; korupsi adalah sebuah kerugian yang sangat besar terutama bagi batin dan fitrah diri sebagai manusia. Uang hasil korupsi pun tak memberi manfaat tapi mudarat bagi yang melakukannya. Jadi jelas adalah sebuah kerugian kan. Untuk apa nampak kaya secara material tapi miskin di dalam batin? Korupsi itu wujud dari kemiskinan batin.
Di republik ini, kita malah harus mempunyai sebuah badan bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai sebuah tanda yang jelas betapa sudah parah prilaku korupsi di negara ini. Kita tahu ini dari adegan-adegan yang berlangsung baik di pusat pemerintahan maupun di daerah-daerah; kita ikuti perkembangan melalui media massa. Gerah kan kita kalau setiap hari harus mengonsumsi berita-berita korupsi yang berlangsung seperti tanpa akhir di negeri ini?
Apa benar memang susah menghilangkan tindakan koruptif dari pikiran dan prilaku bangsa ini? Masa’ iya sih? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H