Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Humor Gus Dur

28 Maret 2010   04:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:09 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selamat untuk Warga NU! Selamat untuk khususnya warga NU yang baru saja memilih KH Said Aqil Sirajd sebagai Ketua Umum PBNU dan KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh sebagai Rais Aam Syuriah PBNU periode 2010-2015. Muktamar NU kali ini mengingatkan saya pada Gus Dur. Ingat NU ingat Gus Dur; bicara NU bicara Gus Dur pula. Begitu kuatnya pengaruh Gus Dur sebagai seorang tokoh termasuk di kalangan non-Muslim tidak hanya di Indonesia ini. Salah satu hal yang paling saya suka dari Gus Dur adalah humor-homornya yang bisa bikin perut sakit menahan tawa. Anda sekalian mungkin sudah pernah dengar humornya yang satu ini, humor yang menurut saya sangat cerdas. Konon, humor ini berdasarkan kejadian nyata. Soal itu bagi saya tak penting; yang paling penting dari humor ini adalah kemampuannya untuk membungkam pemikiran sempit dalam beragama. Seorang kyai mempunyai empat orang anak. Tiga orang telah menikah. Anak paling bungsu segera akan menikah. Sang kyai menjadi gusar tidak karuan lalu mendatangi Gus Dur. Kyai menceritakan kepada Gus Dur betapa susah hatinya sebab anak bungsunya akan menikah dengan seorang Kristen. Apa kata orang-orang nanti? Mengapa kok anak kyai malah menikah dengan seorang Kristen? "Pak Kyai punya anak berapa?" tanya Gus Dur. "Empat Gus," jawab Pak Kyai. "Pak Kyai...! Pak Kyai...!", nada Gus Dur, "Tuhan Allah saja anak-Nya cuma satu. Itupun masuk Kristen!" Bagaimana pula harus memperdebatkan jawaban Gus Dur yang demikian itu? Saya kurang bisa menjabarkan maksud jawaban itu dengan kata-kata tanpa akan terjebak dalam hal-hal dogmatis yang bagi saya pasti membosankan; debat kusir soal siapa yang paling benar dalam hal beragama. Orang bisa mudah terjebak pada perdebatan agama yang mana yang paling benar tetapi jarang berdebat pada tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan baik mana dari siapa saja yang layak kita contoh dan teladani. [caption id="attachment_104223" align="alignleft" width="300" caption="Kelompok Cipayung Jogjakarta Mengunjungi Gus Dur di Ciganjur, Desember 1998. "][/caption] Berkemah di Depan Rumah Gus Dur di Ciganjur Waktu itu Desember 1998. Gus Dur mengadakan Open-House di tempat tinggalnya di Ciganjur. Lalu, berangkatlah kami puluhan anggota Kelompok Cipayung (GMKI, PMII, PMKRI, HMI, GAMKI, GMNI) naik kereta api kelas ekonomi (yang paling murah) dari Stasiun Lempuyangan Jogjakarta menuju Pasar Senen di Jakarta. Tujuan utama adalah Ciganjur, mau bertemu dengan Gus Dur. Kami membawa gitar jadi bisa bernyanyi rame-rame di dalam kereta yang memerlukan sekitar sepuluh jam perjalanan itu. Kalau saya tidak salah, yang paling repot adalah PMII. Maklum, mereka kan NU-kali...:). Saking NU-kalinya, begitu selesai berbincang-bincang dengan Gus Dur pada hari kami tiba di Ciganjur, salah satu dari orang PMII dengan santai dan tenang bilang pada Gus Dur bahwa kami perlu tambahan uang. Haha...! Lalu Gus Dur meminta seseorang di dekatnya untuk mengurus soal uang itu. Gus Dur mempersilahkan Kelompok Cipayung Jogja berkemah di depan rumahnya selama beberapa hari sebelum kami kembali ke Jogjakarta. Sebagian laki-laki yang bisa tidur di kemah itu pada malam hari tidur di sana walau sebagian karena dingin pindah juga ke rumah Mas Sastro yang sebelum Gus Dur menjadi presiden sering menuntunnya. Ciri khas Mas Sastro waktu itu kalau masih ingat: selalu pakai blankon. Saya menginap di rumah Mas Sastro. Di antara semua anggota Kelompok Cipayung Jogja yang ke Jakarta waktu itu, hanya saya perempuan. Berteman dengan para lelaki adalah hal yang menyenangkan; biasa saja. Sekali siang kami berkunjung ke beberapa tempat di Jakarta. Rame-rame pula naik kereta listrik di kota yang berhenti hanya sebentar di setiap titik dan penumpangnya padat. Di dalam kereta, kami terpingkal-pingkal karena beberapa teman kami tertinggal di stasiun karena tidak sempat memasukkan badannya ke dalam kereta. Jakarta memang ganas; masuk kereta saja memerlukan perjuangan tersendiri. Pengalaman saya selama kuliah berinteraksi dengan berbagai kelompok mahasiswa-i khususnya dengan yang Muslim membuat saya menemukan bahwa Islam di Indonesia itu adalah Islam yang toleran dan manusiawi. Walau belakangan ini adalah kelompok-kelompok garis keras yang suka memutingbeliungkan media massa, saya tidak melihat mereka sebagai representasi Islam Indonesia. Jumlah mereka sangat kecil jika kita bandingkan dengan yang toleran dan demokrat. Saya menulis skripsi sarjana saya tentang Muhammadiyah: Pandangan Muhammadiyah tentang Pluralitas Agama di Indonesia. Saya sering pergi ke perpustakaan di kantor Muhammadiyah di Jogja waktu itu. Orang-orang di sana menyenangkan dan sangat membantu. Beberapa teman saya yang paling akrab sampai sekarang adalah Muslim. Beberapa keluarga kami juga Muslim. Di Indonesia ini sebenarnya, ada banyak keluarga yang terdiri dari penganut berbagai macam agama. Kalau orang mulai memperdebatkan penganut agama mana yang akan masuk surga dan mana yang akan masuk neraka, maka orang-orang seperti itu lalu menjadi tidak-menarik sama sekali bagi saya. :) Humor Gus Dur yang saya ceritakan di atas menjadi permenungan mendalam betapa ruang-ruang sempit yang sering menjajah pikiran, perasaan dan pergaulan dengan sesama kita bisa terjadi kalau kita tidak belajar keluar dari ruang-ruang sempit itu. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun